Surat untuk Kekasih

Aku tak pernah paham tentang janji kelingking itu. Sesekali aku menganggapnya sebagai sebuah cita-cita yang kita rajut untuk kita wujudkan bersama suatu hari nanti. Tapi terkadang kegamangan membawaku kembali pada realitas kesadaran, bahwa mungkin janji kelingking itu hanya sebuah proyeksi bayangan dari perasaan kita yang sama-sama kuat. Ya, hanya sebuah proyeksi bayangan.

Aku sadar selama ini kita telah jauh melangkah. Kita melampaui takdir dengan membangun batas pagar untuk diri kita sendiri demi janji kelingking itu. Sayangnya, untuk pondasi saja kita harus sering mengonta-gantinya. Ya, ternyata kita lemah dalam membangun pondasi. Janji kelingking itu mungkin telah kita patri dalam alam bawah sadar kita, sehingga banyak kejanggalan yang kita temukan dalam perjalanan pembuatan batas pagar itu.

Terima kasih untuk mengajariku tentang indahnya arti hidup dan cara mempertahankan hidup itu. Bagiku kau sempurna dalam hidupmu. Kau adalah hidup itu sendiri. Yang diperjuangkan, mengalami kegagalan, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, diperjuangkan lagi, dan terus seperti itu. Ya, kau adalah hidup itu sendiri. Penuh perjuangan dan cinta. Tak pernah mengeluh, padahal nampak jelas garis kelelahan di raut wajahmu.

Sebenarnya, aku masih ingin memeluk lelehan keringat lelahmu. Karena kutahu, aku takkan pernah mendapatimu dalam linangan air mata untuk kuhapus. Namun sekali lagi janji kelingking itu mengabur seperti kabut yang lagi-lagi berurusan dengan cara pandang kita. Dan kini tiba-tiba semua terasa begitu berat bagiku, tak seperti yang telah lalu.

Aku tak mengikhlaskanmu pergi kali ini bukan karena aku takut kau akan merajut janji kelingking dengan yang lain suatu saat nanti. Tapi karena aku tau kau masih menyimpan darah, keringat, luka, dan mungkin air mata dalam hidupmu. Aku masih ingin menemani perjalananmu menapaki tangga kehidupan hingga kau sampai di puncak kebahagiaan, di mana cita-cita yang pernah kau rajut bersama ibumu tak lagi berbentuk mimpi. Setelah itu, mungkin aku bisa mengikhlaskanmu pergi dari janji kelingking kita.

Tapi kali ini keputusanmu sudah bulat. Terakhir, kau pun berkata padaku :
“Aku akan kuat menjalani semuanya dalam kesendirian. Sejak kecil, aku telah belajar banyak dari kerasnya hidup ini. Suatu saat kau akan mengerti bahwa kau perlu keras terhadap dirimu sendiri. Bila tidak, maka orang lain yang akan keras terhadapmu.”

Aku tak dapat menahanmu lagi. Tersenyumlah, legakan aku yang merasa bersalah padamu. Terima kasih untuk cinta dan ajaran hidup yang kau tunjukkan untukku. Tulus sembah doaku iringi almarhum kedua orangtua dan masa depanmu. Aku akan sangat merindukanmu.

Semarang, 27112008_03:00

Pigura dan Foto

Hari ini, kukembalikan cincin pengikat itu. Pertanda tak ada lagi kisah di antara kita. Aku tahu kau melakukan semuanya karena terluka. Terluka atas diriku yang tak mengerti semua ini, tentang ‘kekosongan’ yang selalu kau dendangkan. Bukan karena sebuah permainan, tetapi lebih pada takdir yang kita lukis sendiri.

Aku percaya saat rahim membendung kita, Tuhan telah menentukan jalan yang akan kita tempuh di depan nanti. Sayangnya, mungkin kita telah sedikit melencengkan arah jalan itu pada masa lalu, hingga kita pun memperbanyak foto perjalanan ini.

Dan sekarang, ketika teguran itu datang, kita hanya bisa sama-sama berharap semua perjalanan yang kita rekam dalam foto-foto itu hanyalah sebuah mimpi yang singgah dalam tidur malam kita.

Dan esok, ketika kita sama-sama bertemu dengan embun dan terbangun dari tidur yang telah mengejawantahkan banyak makna hidup dan cinta ini, kita akan mendapati diri kita tersenyum, tanpa merasakan adanya beban bila kenangan perjalanan itu datang kembali dan menjelma sebagai sosok anggun yang dapat melemahkan hati kita kembali.

Ya, mungkin sebentar lagi mimpi-mimpi perjalanan itu akan terbingkai dalam pigura foto di relung-relung hati kita. Kapanpun kita dapat memandangnya dengan berbagai perasaan yang mungkin membawa kita pada angin-angin yang telah terbawa kabut tak tentu arah, namun takkan pernah bisa mengabur dari hidung kita.

Mungkin pada akhirnya semua hanya akan nampak sebagai foto yang terpajang, yang merekam masa lalu kita, yang hanya dapat kita peluk sebatas pigura. Pigura yang tak bernyawa, tak bergerak, namun menghidupkan yang telah mati dalam kenangan.

Mungkin kau benar, kita hanya perlu menyimpan foto itu di sebuah bingkai pigura yang indah. Aku hargai pendapatmu. Tapi, tak semudah itu menempelkan foto yang selama empat tahun ini bernafas, ke dalam bingkai pigura. Karena itu berarti mati.

Aku sadar suatu hari mungkin keusangan foto itu akan membawa tusukan pada jantung-jantung kita yang terlanjur menghitam. Namun, kita juga tak pernah tahu seandainya di depan nanti, Tuhan mengembalikan jalan yang sempat kita usik pada arah yang ditakdirkan. Dan ketika waktu itu datang, kuharap kita akan menemukan takdir kita masing-masing.

27112008_20.03

Sepi lan Rame ing Bawana

Kaping lima tapaning suksma puniku
Gelara marta-martani
Lega legawa ing kalbu
Aja munasikeng janmi
Amoga atining wong
(R. Ng. Ranggawarsita : Serat Soponalya)

Wejangan berupa tapa suksma dari seorang pujangga keraton Solo itu mengingatkan kita bahwa etika kebijaksanaan hidup dalam masyarakat Jawa kini condong pada perpecahan, sehingga masyarakat pun tidak dapat menemukan lagi jati dirinya secara utuh.

Seorang ayah dari kalangan pemulung,
sambil menitikkan air mata,
menggendong mayat anak lima bulannya,
mengelilingi kota Jakarta seharian
untuk mencari welas asih
agar mendapat lahan gratis satu kali dua meter
untuk mengubur jasad buah hatinya

Sepi ing pamrih,
Keadaan benar-benar menjadi sepi karena tak tertanam lagi sikap
lembah manah (rendah hati) pada masyarakat yang mendorong adanya keinginan untuk peduli pada penderitaan orang lain.
Bagaimana orang bisa berpamrih, kalau keinginan untuk peduli dan menolong saja tidak ada?

Seorang ibu rumah tangga di Lamongan meracuni ketiga anaknya
karena tidak sanggup melihat buah hatinya kelaparan
di antara tembok-tembok rumah mewah

Sepi ing pamrih,
Sosialisasi dalam masyarakat akan sikap
tepo seliro yang selalu diagungkan dalam konsep etika masyarakat Jawa kini hanya tinggal simbol dari sebuah keengganan masyarakat dalam memaknai hubungan timbal-balik dalam ranah sosial belaka.
Tak ada lagi sikap penempatan diri sebagai manusia lain, sehingga tak berlaku pula ungkapan “Seandainya saya menjadi orang itu, saya juga tidak mahu mengalami penderitaan seperti itu.”

Seorang pengajar spiritual di Jombang membunuh puluhan orang
secara sadis dengan memotong bagian-bagian tubuh korbannya
demi segenggam harta

Rame ing gawe,
Tak lagi bermakna gotong royong demi kerukunan bersama. Namun,
rame demi gawe (nya) sendiri. Alias egois.
Hanya demi materi orang mampu mengesampingkan nilai-nilai moral sehingga menimbulkan konflik bagi pihak lain.
Rame
dengan berbagai usaha untuk menjalankan gawe (nya) menumpuk materi yang sifatnya fana (sesaat).

Di Monas, sekelompok organisasi melempari sekelompok organisasi lain
dengan batu hingga berdarah,
kemudian secara membabi-buta memukulinya
hingga meninggalkan bekas luka di badan dan di hati

Rame ing gawe,
Benar-benar bersama bahu-membahu dan beramai-ramai memberantas segala yang tidak sepaham dengannya secara anarkis, demi mewujudkan
gawe (nya) menonjolkan diri sebagai ‘yang paling benar’.

Meniru Akio Morita,
Seorang pengusaha sukses asal Bedono, 43 tahun
Mengader calon general manager penerus usahanya
Dengan menikahi gadis belasan tahun secara sirri

Memayu hayuning bawana,
Manusia semakin nekat menghiasi dan memerindah dunia dengan masalah-masalah yang memicu terjadinya konflik dalam masyarakat.
Menghilangkan bentuk-bentuk kewajiban terhadap keturunannya, masyarakat, dan pemerintah.

Penyimpangan-penyimpangan terhadap falsafah etika hidup Jawa sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana akan mengikis nilai-nilai moral yang telah menjadi watak masyarakat Jawa. Jika kedua konsep tersebut telah disalah-artikan oleh sekelompok masyarakat tertentu, maka tugas wajib bagi masyarakat yang lain untuk mengingatkan dan mengembalikannya ke arah yang benar.

Penggerogotan nilai-nilai sosial yang menjadi identitas suatu kolektif menimbulkan hilangnya jati diri kolektif tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka itulah yang akan menjadi tanda-tanda kehancuran suatu tatanan sosial, yang akhirnya bermuara pula pada kehancuran suatu peradaban.

04102008

sobokartti

Sekilas, nampak tak ada yang spesial saat saya duduk di halte daerah Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang. Tak ada rutinitas ataupun suatu hal yang dapat menarik mata untuk melihat ataupun memperhatikannya. Kendaraan berlalu-lalang silih-berganti, seorang pedagang tengah sibuk meladeni pembelinya di warung tenda yang sempit, dan beberapa kendaraan bermotor yang agaknya memiliki masalah dalam hal permesinan memadati bengkel ”Palupi” di seberang jalan. Namun, ketika pandangan saya tertuju pada sebuah papan nama yang terpasang di antara gang masuk yang sempit ---sekitar 2 meter lebarnya --- mata ini langsung menarik kaki saya untuk memasuki kawasan di dalamnya.


PERKUMPULAN KESENIAN ”SOBOKARTTI”

(De Volks Kunst Vereeniging Sobokartti Semarang)

TANAH DAN GEDUNG KESENIAN SOBOKARTTI YANG BERNILAI BUDAYA

SEJARAH BANGSA, DAN NEGARA JL. DR. CIPTO 31 – 33 SEMARANG

TIDAK AKAN DIJUAL KEPADA SIAPAPUN ORANG-ORANGNYA

HARAP MAKLUM

BATAVIA 1929 – SEMARANG


Demikianlah bunyi tulisan yang terpampang pada papan nama tersebut. Tulisan itulah yang menuntut keingintahuan saya untuk menilik lebih jauh apa sebenarnya ”Sobokartti” itu. Dengan langkah penuh kepenasaran, akhirnya saya berjalan memasuki gang sempit itu.

Teduhnya sinar matahari sore membuat seorang bocah lelaki, dengan topi biru yang dikenakannya secara terbalik, bersemangat mengencangkan laju sepedanya untuk mengitari lapangan yang ditumbuhi rumput. Meskipun rumput-rumput yang sebagian telah menguning dan tumbuh sekitar 10-15 cm, mengisyaratkan bahwa kurang adanya perawatan, namun secara keseluruhan kawasan itu nampak asri. Hampir tak terlihat ada sampah berserakan.

Angin yang berhembus tidak terlalu kencang mampu menerbangkan dua layang-layang segi empat di tangan dua lelaki remaja. Seorang bocah berok merah sepaha menyaksikannya di depang warung makan di ujung selatan lapangan yang berpagar tembok-tembok rumah tersebut.

Sementara itu, di sisi barat terdapat sebuah bangunan kuno yang melebar pada sisi depannya. Pintunya terbuat dari kayu bermodel enam lipatan. Pada sisi kanan dan kiri pintu terdapat jendela-jendela teralis bercat putih yang memanjang ke bawah. Secara keseluruhan, bangunan kuno itu berwarna coklat. Kombinasi coklat muda dan coklat tua yang dipadu dengan hijaunya pohon-pohon di sekitarnya membuat kesan harmonis dan selaras dengan alam.

Begitu masuk ke bagian depan bangunan kuno itu, gemuruh suara anak-anak, laki-laki dan perempuan, terdengar riang. Beberapa bermain bekelan di lantai, ada juga yang berlarian tanpa arah yang jelas, dan sebagian lainnya fokus pada permainan karet.

Pada bagian depan bangunan ini hanya ada enam tiang penyangga bangunan yang masih terlihat kokoh. Tak ada meja, kursi, dan perkakas lain sebab memang bukan sebuah ruang tamu. Dari bagian depan ini saya mulai mengerti bahwa bangunan tua tersebut adalah sebuah gedung perkumpulan seni sekaligus gedung pertunjukan. Pada bagian tengahnya nampak berjajar tiga loket untuk membeli karcis pertunjukan, yang sayangnya sudah tidak terpakai lagi kini. Debu tebal menyelimuti permukaan dinding-dindingnya. Di atas jajaran loket tersebut saya melihat lagi sebuah papan yang memampang nama ”Sobokartti”.

Di sebelah kanan dan kiri loket terdapat dua buah pintu masuk. Saya pun memasuki pintu sebelah kanan. Di dalamnya ada sebuah ruangan besar dengan atapnya yang tinggi, yang digunakan sebagai tempat pertunjukan. Di sebelah timur ada sebuah panggung permanen yang menghadap ke barat dan di sisi utara dan selatan bangku-bangku kayu yang panjang berjajar rapi. Di atas jajaran bangku sebelah utara terdapat sebuah tempat yang digunakan untuk berlatih seni pedalangan sekaligus tempat menyimpan perkakas-perkakas pedalangan.

Sobokartti adalah sebuah perkumpulan kesenian rakyat yang aslinya bernama De Volks Kunst Vereeniging Sobokartti Semarang. Sobokartti selain digunakan sebagai nama perkumpulan kesenian di Semarang, ia juga digunakan sebagai nama gedung kesenian itu sendiri. Sobokartti didirikan di Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang pada 5 Oktober 1929, pada jaman Kolonial Belanda oleh para seniman-seniman yang pada waktu itu berdomisili di Semarang. Ir. Thomas Kartsen dari Belanda banyak berpengaruh dalam pembangunan gedung maupun managerial Sobokartti. Sobokartti sengaja didirikan di daerah Dr. Cipto sebab di sanalah para pahlawan perang pertempuran lima hari di Semarang dimakamkan. Jadi selain gedung yang bersejarah, perkumpulan seninya juga bersejarah. Untuk pertama kalinya hingga kini, Sobokartti dipimpin oleh Andaryoko Wisnuprabu yang menjabat sebagai ketua umum dan Soetrisno sebagai sekretaris.

Sobo berarti bermain atau dolan dan karti artinya bekerja. Sobokartti berarti bermain untuk bekerja dan bekerja untuk bermain. Tulisan Sobokartti memang memiliki “t” dobel sebab diambil dari mana Gubernur Belanda pada jaman itu. Nama Sobokartti sendiri diberikan oleh pemerintah setempat pada jaman dahulu.

Meskipun Sobokartti berdiri di Semarang, namun pada perkembangannya juga mendapat dukungan dari Mangkunegaran, Surakarta. Dalam hal latihan, Sobokartti memiliki jadwal rutin yang telah disepakati oleh masing-masing anggotanya. Pada Jumat, pukul 20.00-23.00 WIB diadakan pelatihan karawitan. Sabtu, pukul 15.00-19.00 WIB ada kursus pedalangan. Minggu, pukul 09.00-13.00 WIB diadakan pelatihan pranata cara, dan pada hari Minggu pukul 13.00-17.30 WIB ialah jatah latihan untuk karawitan para ibu. Pada pelatihan seni tari Jawa, telah dibagi dalam beberapa kelas. Kelas anak-anak, kelas dewasa, dan juga kursus guru tari.

Pada jaman dahulu, Sobokartti memang sangat terkenal. Bahkan ada stigma yang berkembang di kalangan seniman bahwa seseorang belum sah dinobatkan sebagai seniman dan memiliki ketenaran sebelum ia pentas di Sobokartti, sebab Sobokartti dianggap sebagai perkumpulan kesenian nomor satu di antara perkumpulan-perkumpulan kesenian lainnya di Jawa Tengah.

Awalnya, Sobokartti adalah merupakan suatu sanggar yang menyajikan seni tari Jawa klasik gaya Surakarta untuk ditawarkan bagi masyarakat. Namun, pada perkembangannya Sobokartti juga menawarkan pelatihan karawitan, pelatihan pedalangan, serta pembatikan gaya Semarangan untuk mempertahankan kelangsungan Sobokartti sendiri.

Sebagaimana sanggar-sanggar kesenian pada umumnya, Sobokartti juga memiliki beberapa kendala yang menyebabkannya terpinggirkan oleh jaman. Beberapa masalah tersebut antara lain : masalah pendanaan, minat masyarakat sendiri yang semakin rendah untuk melestarikan budaya Jawa, makin beragamnya cara orang berlatih tari dan kesenian Jawa lain, serta makin menjamurnya sanggar-sanggar tari modern yang lebih diminati kaum muda.

Pertama, dalam hal pendanaan, Sobokartti merupakan sebuah perkumpulan yang benar-benar hanya mengandalkan iuran anggota atau siswa. Jadi, dalam hal pengembangannya sendiri pun Sobokartti mengalami jatuh bangun dari kesulitan.

Masalah kedua ialah kurangnya minat dari masyarakat sendiri untuk melestarikan kesenian Jawa. Mereka umumnya telah terpengaruh oleh arus globalisasi yang lebih cenderung berpihak pada modernitas serta mencibir nilai kekunoan dari sebuah bentuk kesenian. Pada masa jayanya, para siswa Sobokartti dapat mencapai ratusan (hingga tiga ratusan siswa).

Ketiga, di Semarang guru tari telah banyak lahir. Di sekolah-sekolah dasar misalnya, anak-anak sudah diajarkan seni tari. Banyak lulusan UNNES yang telah menjadi guru tari atau mengajar ekstrakulikuler tari di sekolah-sekolah, sehingga anak-anak tersebut tidak perlu lagi datang ke sanggar untuk berlatih tari. Mereka cukup latihan tari di sekolahan.

Keempat, makin banyaknya sanggar-sanggar kesenian yang lahir di Semarang membuat persaingan semakin ketat. Bahkan, Sobokartti yang dahulu sangat dipuja dan dinomorsatukan kini bagaikan ampas tebu yang ditinggalkan begitu saja seolah tak ada manfaatnya lagi. Sanggar tari modern nampaknya lebih diminati masyarakat karena dianggap lebih menjajikan dalam hal komersialisasinya.

Jatuh bangun mempertahankan Sobokartti telah dirasakan pada generasi penerusnya, sehingga beberapa cara ditempuh untuk mengusahakan tetap berdirinya perkumpulan kesenian itu. Ketika kepemimpinan Totok Pamungkas, pihaknya mengadakan kerjasama dengan kantor-kantor kecamatan serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyebarkan brosur-brosur, terutama pada saat penerimaan siswa baru. Selain itu, pada tiap kesempatan pentas, para murid Sobokartti dihimbau untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari perkumpulan kesenian Soboartti. Dengan melihat pentas mereka, diharapkan masyarakat akan memiliki ketertarikan dan ujung-ujungnya akan mencoba berlatih di Sobokartti. Langkah lainnya ialah mencoba bekerjasama dengan TVRI untuk menayangkan pementasan mereka. Namun, karena sekarang di layar kaca sudah tidak ada kapling untuk pementasan kesenian tradisional, maka kini lebih sulit mengembangkannya. Hal ini dikarenakan oleh minimumnya animo masyarakat yang telah tergeser oleh budaya asing.

Usaha dalam hal kekreatifitasan diupayakan melalui cara pemadatan waktu dalam hal pedalangan, yakni ketika pementasan wayang. Cerita wayang yang mulanya lima jam diringkas menjadi satu jam dengan cerita yang padat dan isinya mendidik Tujuannya agar masyarakat yang menonton tidak terlalu jenuh karena ceritanya yang padat.

Untuk seni tari sendiri, pihak Sobokartti telah mengusahakan tidak hanya menawarkan tari klasik. Namun, ada juga penawaran untuk tari kreasi, tari garapan, serta pengajaran tari-tari tradisional dari luar daerah (Sunda, Jawa Timur, Bali).

Perhatian dari pemerintah setempat memang ada, namun bantuan yang diberikan berupa dana terlalu kecil untuk mengembangkan Sobokartti. Dalam skala satu tahun, Sobokartti hanya mendapat bantuan sebesar Rp 2.000.000,00. Biasanya dana tersebut dimanfaatkan untuk merenovasi gedung. Masalahnya, di Semarang terdapat sekitar hampir 300 grup kesenian yang juga mendapat sumbangan dari pemerintah dengan sistem bergilir. Jadi, belum tentu setiap tahun Sobokartti mendapat giliran subsidi dana tersebut. Seandainya Sobokartti tidak membuat proposal, maka akan sangat mungkin bantuan itu tidak akan diterimanya.

Dari sekian kesenian yang dimiliki dan ditawarkan Sobokartti, karawitan adalah salah satu penyumbang terbaik dan terbanyak yang mengharumkan nama Sobokartti. Beberapa penghargaan yang pernah diraih lewat seni karawitan di bawah asuhan Soetrisno antara lain :

  1. Tahun 1988-1989 Juara Harapan IV Lomba Karawitan Wilayah RRI Semarang

  2. Tahun 1988-1989 Juara II Karawitan Pria Wilayah RRI Semarang

  3. Tahun 1987-1987 Juara I Karawitan Pria Wilayah RRI Semarang

  4. Tahun 1990-1991 Juara Harapan I Lomba Karawitan Wilayah RRI Semarang


Karawitan sendiri ialah sebuah seni gamelan dan seni suara yang bertangga nada slendro dan pelog. Personilnya terdiri atas sekitar dua puluh empat Waranggono (pengambil suara perempuan), pesinden, dan pengrawit (penabuh kendang, gender, rebab, damung, saron gambang, beking, gong, kempul, kenong, rebab maupun siter).

Nyanyian yang mengiringi karawitan terdiri atas bermacam-macam gending. Gending-gending itu mencakup gending wancaran, ketawang, ladrang, gambir sawit, pangkur, kutut manggung,dll.

Perkembangan karawitan di Sobokartti sekarang diperkirakan sudah mulai maju pesat kembali sebab latihan semakin sering dilakukan dengan personil yang semakin beragam. Bahkan, pada hari Jumat telah ada latihan dari kerjasama dengan IKIP PGRI.

Anggota pemain karawitan cukup beragam, mulai dari pensiunan PNS, sarjana, SPG, PGRI, hingga masyarakat biasa baik yang telah mengerti seni itu secara baik maupun yang sedang belajar dari nol.


Salah satu motto yang dipegang Sobokartti ialah tidak akan ada penjualan atas gedung Sobokartti, apapun masalah yang melatarbelakanginya. Ia adalah sebuah perkumpulan yang independen, keberlangsungannya tidak berdiri atas kepentingan sekelompok golongan, seperti partai politik misalnya. Pada jaman Golkar berjaya, Sobokartti pernah diajak untuk masuk dalam jajarannya. Namun, Sobokartti menolak karena ia hanya mahu menerima bantuan dalam hal apapun atas nama pribadi, bukan kepentingan partai atau untuk hal politik.

Tak dapat disangkal lagi bahwa suatu kesakralan, pada perkembangan jaman mampu menjadi korban dalam komersialisasi industri. Seperti yang dialami Sobokartti dalam dekade terakhir. Kesenian tradisional menjadi sesuatu yang eksklusif dan mahal di mata masyarakat. Masalah sebenarnya ialah minimnya orang yang mengetahui kesenian tradisional itu menyebabkan mahalnya harga yang harus dibayar saat mereka ditanggap untuk mementaskan keahliannya.

UPACARA

Dengar seluruh angkasa raya memuji pahlawan negara

............................................

Harkat, jasa, kau cahya pelita bagi Indonesia merdeka


Bayangan raut kebanggaan Sukardi, almarhum kakekku tiba-tiba berkelebat di pikiran pagi ini. Masih tergambar jelas di benakku setiap dua kali dalam setahun, beliau dengan daya imajinasi dan kata-katanya mampu menyihir seisi rumah untuk kembali merasakan masa perjuangannya di jaman penjajahan Jepang.


Ayo, persiapkan diri buat upacara besok.” Katanya tiap malam menjelang Tujuh Belas Agustus dan Sepuluh November, seolah tak sabar untuk menunggu kemunculan mentari esok pagi.


Pernah suatu hari, saat aku duduk di bangku SMP, aku memergoki beliau menangis tengah malam di sudut dapur. Aku tak tahu apa yang menjadi penyebabnya.


Keesokan harinya, beliau sudah berdandan rapi sejak subuh tiba, mengenakan seragam veterannya, lengkap dengan topi dan tanda bintang emas serta emblem-emblem lusuh yang dilekatkannya di baju hijau tua itu. Kemudian, beliau membangunkan seisi rumah untuk segera mempersiapkan diri mengikuti upacara di lapangan desa.


Setelah itu, dengan jalannya yang tertatih karena kerentaan usianya, ia menuju gapura Junggul, Bandungan dengan ditemani sebuah tongkat kayu yang menopang tubuhnya. Di gapura itu, ia menunggu teman-teman seperjuangannya dengan penuh semangat yang menyala-nyala.


Lalu, mulai berdatanganlah para jompo yang juga mengenakan seragam veteran. Kebanyakan, mereka datang dari Piyoto dan Gintungan. Tak seperti kakekku, mereka terlebih dahulu harus menempuh berkilometer jalanan becek dan berbatu untuk berkumpul di gapura Junggul. Begitu sampai, mereka dengan gagah langsung memberi salam hormat pada kakek, beliau pun membalasnya dan mereka saling berpelukan.


Naik apa tadi?” tanya kakek pada salah satu temannya dari Piyoto.

Jalan kaki.”


Mendekati pukul tujuh mereka mengeluarkan iuran dan segera menyewa angkot menuju lapangan Turangga Seta Ambarawa (waktu itu Junggul masuk bagian kecamatan Ambarawa). Mereka pun dengan bangga membentuk barisan rapi dan mengikuti jalannya upacara dengan khidmat.


Saat pembina upacara menyampaikan amanatnya, kakek dan beberapa kawan seperjuangannya hampir menitikkan air mata.

Sebagai generasi muda, kita harus mengingat dan menghargai jasa para pahlawan dengan meneruskan perjuangannya.” kata pembina itu.


Usai upacara berakhir, kakek dan teman-temannya kembali mengeluarkan iuran untuk perjalanan pulang. Hingga kini, aku pun masih ingat setiap kakek sampai di rumah, semangatnya yang berkobar tak lagi terlihat seperti sehari sebelum upacara dimulai. Wajahnya kuyu dan letih.


Kini, saat aku duduk di bangku kuliah barulah aku tahu dan mengerti makna tangisan dan wajah kuyu kakek tempo hari. Ternyata, kebanggaannya sebagai pejuang kemerdekaan dinodai oleh keperihan hatinya atas perlakuan pemerintah pada anggota veteran.


Ia merasakan ada sebuah rasa ngilu yang menusuk hingga dasar hatinya. Dalam diamnya, ia menangis dan merasakan ada borok yang semakin menggerogoti kekecewaannya.


Ia tak pernah menuntut untuk dihormati. Tapi, ketika mengingat perjuangan dan pengorbanan nyawa para teman seperjuangannya dahulu, ia hanya bisa berharap pemerintah lebih dapat memperhatikan nasib para pensiunan veteran, sebab nasib mereka usai kemerdekaan ternyata tak lebih baik dari jaman penjajahan. Hidupnya tetap tak terjamin. Bahkan, untuk sekedar mengikuti upacara setiap Tujuh Belas Agustus dan Sepuluh November pun, mereka harus patungan terlebih dahulu untuk menyewa angkutan umum.


Bangsa yang sukses dan bermartabat adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Menghargai sejarah berarti menghargai seluruh aspek yang bersinggungan dengannya. Menghargai para pahlawan yang telah gugur dapat kita lakukan dengan mendoakan dan meneruskan cita-cita mereka agar rakyat Indonesia tetap menjaga persatuannya. Sedangkan bagi para pahlawan yang masih hidup, hendaknya kita memperhatikan kehidupannya saat ini. Jangan sampai setelah negeri ini merdeka, mereka tidak mendapatkan kemerdekaan batin dan merasa lebih menderita dibandingkan masa pendudukan penjajah pra-kemerdekaan.


09102008

CURHAT

hikz.....hikz.....
mendekati lebaran kemarin aku sakit ati....
semua cerpen2Q dari SMA-kuliah ilang.....
gak nyisa 1 pun...
nyeselnya gak aku back up dulu...
padahal baru aja aku mau masukin ke blog ini...
hikz...hikz...
buat semua, ati2 ya kalo punya karya,,,,,
cepet2 dipublikasiin dan di back up sebanyak2nya biar gak da lagi yang ngalamin pnyesalan kayak aku....

"SECANGKIR KOPI PAHIT"

MANIS GETIR KEHIDUPAN

JUDUL FILM : Secangkir Kopi Pahit

SUTRADARA : Teguh Karya

PEMAIN : Alex Komang (Togar)

Rina Hasyim (Lola)

Teguh Karya adalah salah satu anak bangsa yang selalu menghasilkan karya – karya bermutu. Salah satu filmnya yang patut diacungi jempol ialah Secangkir Kopi Pahit dengan pemeran utama Alex Komang.

Filmnya kali ini membahas mengenai lika – liku kehidupan seorang Togar (Alex), perantau dari Batak yang mengadu nasib di Jakarta. Meskipun latar belakang pendidikannya ialah sebagai seseorang yang pernah duduk di fakultas ekonomi, namun jiwa dan cita - citanya telah menuntunnya menjadi seorang wartawan di sebuah surat kabar ibu kota. Meskipun gaji yang diterimanya tidak terlalu besar, namun ia mencoba untuk terus bertahan hidup.

Pada suatu ketika di sela – sela waktu kerja, ia bersama sahabatnya Buyung (Resa Hetapi) menyempatkan ngobrol untuk membahas hal – hal yang sifatnya ringan sambil minum - minum di kedai seorang janda beranak tiga bernama Lola (Rina Hasyim). Sejak saat itu, Togar sering mampir atau sengaja datang untuk sekedar minum di kedai itu. Sampai pada suatu hari, saat ia stres memikirkan suatu masalah, Togar datang untuk minum di kedai Lola. Tak lama kemudian ia pun mabuk dan melakukan hubungan layaknya suami istri bersama Lola. Beberapa minggu usai kejadian itu Lola sadar bahwa ia tengah hamil dan meminta pertanggungjawaban dari Togar. Karena Togar sedang dalam keadaan labil akibat pekerjaannya yang kurang beres, maka iapun membantah bahwa bayi itu adalah anaknya. Namun, pada akhirnya Togar menikahi Lola dengan perasaan penuh sesal dan terpaksa.

Pada awal pernikahan mereka, sering terjadi keributan – keributan kecil yang mengancam keutuhan rumah tangga itu. Togar selalu mengatakan bahwa pernikahan itu terjadi hanya karena keterpaksaannya untuk bertanggungjawab atas kesalahan yang telah ia perbuat, sebab tak mungkin ia melakukan hubungan itu atas dasar cinta dengan Lola yang usianya jauh lebih tua darinya.

Sampai pada suatu hari, Togar dapat mencintai istri serta anak – anak tirinya dengan tulus. Dengan spontan kehidupan rumah tangga merekapun dipenuhi dengan rasa cinta kasih. Namun, kebahagiaan nampaknya tak berlangsung lama. Sebab, tak lama kemudian Togar mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal. Iapun kembali ke Batak bersama istri dan anak – anaknya.

Di tanah kelahirannya itu, sang ibunda tidak bisa menerima kenyataan bahwa Togar telah menikah dengan seorang janda beranak tiga yang berasal dari Manado. Hal itu dianggapnya sebagai sebuah aib keluarga. Selain karena mereka berbeda suku, usia merekapun terpaut sangat jauh. Lola lebih pantas menjadi ibu Togar. Namun setelah mengenal lebih jauh sifat menantunya, ibu Togar akhirnya merestui pernikahan mereka.

Dalam acara berbulan madu, saat mereka menaiki motor boat di tanah kelahiran Togar itu, tiba – tiba saja Lola mengalami kecelakaan yang menyebabkannya tenggelam dan tewas. Oleh beberapa pihak yang tidak menyaksikan langsung kejadian tersebut, Togar disalahkan atas kejadian itu. Ia dicurigai sengaja membunuh istrinya karena rasa bencinya pada Lola. Ia dituntut dan dimintai pertanggungjawaban. Setelah melalui beberapa tahap persidangan, iapun dibebaskan karena terbukti tidak melakukan kesalahan.

Secangkir Kopi Pahit, adalah sebuah bentuk ekspresi Teguh Karya yang sarat dengan kefilosofisan. Ia mampu membungkus makna filosofis kopi pada karyanya lewat beberapa skenario dan adegan yang cukup unik (khas) di masanya. Rasa kopi pada umumnya memang pahit, namun setelah kopi yang pahit itu ditambahkan dengan kata ‘secangkir’ maka secara semantis kopi itu tidak lagi hanya ada rasa pahit. Ada rasa manis yang mengiringinya. Begitupun dengan hidup manusia. Tak selamanya manusia hidup dalam keterpurukan, kesialan, serta kejelekan terus – menerus. Ada kalanya kebahagiaan menyelimuti hidup. Dan terkadang, kebahagiaan serta kepedihan saling menempel satu sama lain sehingga berjalan berbarengan. Kadang hidup manusia berada di atas, dan terkadang juga berada di bawah. Hal itu lumrah terjadi pada siapapun dan kapanpun. Jadi, jangan pernah berputus asa dalam menjalani hidup yang memang penuh dengan masalah. Nampaknya, hal itulah yang ingin disampaikan Teguh dalam filmnya kali ini.

Tahun 80-an yang menjadi latar dalam film itu sangat kental dengan adanya banyak fakta yang berkembang di masyarakat mengenai perbedaan suku maupun ras. Ia ingin mempertentangkan opini sebagian masyarakat yang masih menganggap perkawinan dengan suku yang berbeda merupakan sebuah aib dengan opininya sendiri bahwa tidak selamanya anggapan seperti itu benar. Seperti dalam karyanya yang lain, Ibunda,Teguh nampaknya menyukai perbedaan – perbedaan antar suku yang disatukan dengan cinta. Dalam Ibunda Teguh memadukan tokoh Jawa dengan Ambon. Sedangkan dalam Secangkir Kopi Pahit ini ia mempertemukan suku Batak dan Manado dalam cinta Togar dan Lola. Ia ingin membuktikan bahwa cinta kasih dapat membuat segalanya menjadi lebih baik.

Tak seperti film yang lain, film ini mengusung tema yang tak sederhana yang disajikan lewat kerumitan – kerumitan masalah hidup orang perantauan yang masih menjunjung adatnya di tanah rantau. Film ini dapat juga dijadikan sebagai salah satu referensi atau acuan orang yang ingin mengetahui gambaran keadaan anak rantau tahun 80-an. Jadi, dijamin Anda tidak akan menyesal memiliki koleksi film Teguh Karya, Secangkir Kopi Pahit ini. Selamat membuktikan!

JALAN CERITA

Seven Years in Tibet ialah sebuah film yang diilhami dari kisah nyata, yang menceritakan mengenai perjalanan hidup Heinrich Harrer selama 7 tahun terdampar di Tibet. Harrer ialah salah seorang anggota Partai Sosialis Nasionalis di Austria, Jerman yang memiliki hobi mendaki.

Pada 29 Juli 1939, Harrer yang tidak mahu memiliki anak tega meninggalkan istrinya yang sedang hamil untuk berangkat ke Pegunungan Himalaya guna mewujudkan cita – citanya menaklukkan Nanga Parbat. Ia sangat terobsesi menjadi orang pertama yang dapat mencapai puncaknya, yakni 6.800 m dpal. Anaknya diprediksi akan lahir saat Harrer masih dalam perjalanan ekspedisinya.

Saat ekspedisi Harrer hampir berhasil, di separo jalan timnya terhalang oleh badai dan longsoran salju. Mereka terpaksa menghentikan ekspedisi itu dan kembali menuruni gunung demi keselamatan diri. Namun, di tengah perjalanannya sewaktu turun, tim mereka terpaksa ditahan oleh tentara setempat. Alasannya ialah karena waktu mereka mendaki ternyata berbarengan dengan meletusnya perang antara Inggris dan Jerman. Mereka akhirnya dibawa ke Dehra Dunn di India untuk ditahan.

Di dalam penjara, Harrer sempat beberapa kali mencoba melarikan diri namun selalu gagal. Bahkan, ia mendapat perlakuan kasar atas fisiknya dari para penjaga tahanan. Dalam keputusasaan itu ia sangat merindukan istrinya. Bahkan, naluri kebapakannya mulai tumbuh.

Pada Bulan Oktober 1940 ia menerima surat cerai dari Ingrid di penjara. Ingrid merasa tidak ada kecocokan lagi di antara mereka. Anak mereka, Rolf Harrer mulai beranjak besar dan membutuhkan figur seorang ayah. Jadi, karena Ingrid sejak awal tahu bahwa Harrer tidak menginginkan Rolf maka ia mantap menikah lagi dengan pria pilihannya yang juga sudah akrab dengan Rolf yakni Immendorf. Ingrid berkata bahwa kelak, saat anak itu dewasa ia akan memberitahukan bahwa ayahnya telah tewas dalam ekspedisi ke Himalaya saat ia masih dalam kandungan.

Akhirnya, pada 18 November 1943 Harrer bersama beberapa kawannya berhasil lari dari penjara itu lewat penyamaran diri. Namun, ia berpisah dan mencari jalan pulang sendiri tanpa kawan – kawannya.

Pada suatu hari, Harrer sampai ke India Bagian Utara. Karena ia tak mempunyai persediaan makanan, iapun mencuri sesaji dan beberapa keping uang logam di kuil. Tak berapa lama kemudian, ia bertemu dengan Peter, rekan ekspedisi sekaligus teman melarikan diri (dari penjara India). Mereka berdua mencari jalan pulang (ke Jerman) bersama – sama melewati Tibet. Setelah berjalan sekitar 68 km, saat berada di perbatasan, mereka sempat diusir oleh pejabat setempat sebab pemerintah Tibet memiliki aturan tidak diperbolehkannya orang asing masuk ke daerahnya. Saat tiba di kota suci Lhasa, kampung halaman Dalai Lama, Harrer dan Peter menyamar sebagai warga sekitar agar diperbolehkan masuk.

Ternyata, di Lhasa mereka berdua diterima baik oleh masyarakat. Bahkan, mereka mendapatkan hadiah dari Ngawang Jigne, Menteri Sekretaris Negara, berupa dua potong jas yang dijahit langsung oleh Pema Lha-Ki, penjahit terbaik di Lhasa.

Harrer dan Peter sama – sama menyukai Pema. Namun, akhirnya Pema jatuh ke pangkuan Peter dan menikah dengannya.

Pada 1945 Harrer mendapat berita bahwa Jerman telah menyerah. Ia pun segera ingin kembali ke Austria untuk menemui anaknya. Namun, setelah ia mendapat surat dari anaknya yang berisi bahwa ia tidak diakui sebagai ayah oleh anaknya sendiri dan bergantinya nama Rolf Harrer menjadi Rolf Immendorf ia kembali mengurungkan niatnya. Ia pun tak jadi pulang dan tetap di Lhasa.

Suatu ketika, Harrer mendapat kehormatan dari ibunda Kun Dun untuk menemui anaknya, pemimpin kehidupan spiritual rakyat Tibet. Harrer sangat senang bertemu dengan Kun Dun, begitu juga sebaliknya. Mereka memiliki hobi yang sama, menonton film. Untuk itu, Kun Dun meminta Harrer membuatkannya gedung bioskop bagi warga.

Tak butuh waktu lama bagi Harrer dan Kun Dun saling mengenal pribadi masing – masing. Karena Kun Dun ingin mempelajari dunia Harrer, maka Harrer mengajari banyak hal kepadanya, seperti belajar mengerti peta, cara mengemudikan mobil, serta memahami ilmu – ilmu alam.

Negara Cina secara tiba – tiba mengumumkan bahwa Tibet menjadi daerah rebublik di bawah kekuasaanya. Rakyat Tibet memprotes keputusan itu. Bagi mereka Tibet adalah negara merdeka yang tidak mengakui raja atau pemimpin lain.

Pada suatu malam, Kun Dun bermimpi bahwa Tasker di Amdo, tanah kelahiran Dalai Lama dihancurkan oleh orang asing. Ia merasa mimpinya akan menjadi kenyataan.

Selang beberapa hari mimpi itu terjadi. Pada 12 Mei 1937 Jenderal Cina datang dan bernegosiasi dengan Kun Dun. Rakyat Tibet menginginkan daerahnya dibebaskan dari pemerintahan Cina atau setidaknya diberi hak otonomi. Sebab, menurut Dalai Lama ke-13, kalau Tibet dikuasai orang asing, maka akan terjadi kekacauan dengan diserangnya agama oleh kekuatan luar, serta penghancuran biara, kitab suci, dan rahib. Namun, Jenderal Cina tak sedikitpun peduli. Ia malah mengatakan bahwa agama adalah racun.

Sebanyak 84.000 pasukan Cina di bawah Chang Jing Wu melakukan serangan pertama kali di Tibet. Selama 11 hari perang berkobar. Harrer dan Peter ikut membantu dalam hal teknis persenjataan rakyat Tibet. Namun, sebelum rakyat merampungkan perjuangannya, Perdana Menteri Ngawang Jigne telah menyerah kalah.

Semua rakyat kecewa pada kepengecutan Ngawang dan memohon pada pihak pemerintah agar Kun Dun - Dalai Lama - diijinkan untuk berkuasa dalam hal politik, sebab ia dinilai sudah mampu memimpin Tibet dengan ilmu yang dimilikinya. Kun Dun pun akhirnya diangkat menjadi pemimpin.

Kemudian, Kun Dun menyarankan agar Harrer kembali ke Austria sebab negaranya, Austria, telah aman. Namun, yang terpenting ia harus menemui anaknya dan merawatnya dengan baik. Kun Dun tidak meminta Harrer untuk ikut berperang.

Pada 1951 Harrer sampai di Austria. Ia menemui Rolf dan memberikan kotak musik pemberian Kun Dun. Mulanya ia tidak diterima, namun akhirnya Rolf mahu mengakuinya sebagai ayah dan bahkan ia ikut mendaki ayahnya ke Himalaya.

Dalam pertempuran itu, sejuta orang Tibet mati dan 6.000 biara hancur akibat penjajahan Cina di Tibet. Pada tahun 1959 Kun Dun melarikan diri ke India. Sedangkan pada 1989 Heinrich Harrer mendapatkan nobel perdamaian dan tetap bersahabat baik dengan Dalai Lama.

PROSES KOMUNIKASI DAN PEMAHAMAN

PROSES KOMUNIKASI DAN PEMAHAMAN

Film ini memiliki nilai hiburan, pendidikan serta artistik yang dikombinasikan dan dikomunikasikan dengan sangat baik oleh sutradara kepada para penontonnya.

  1. nilai hiburan

Dikaji dari rentetan adegan, film ini terasa tidak membosankan. Setiap adegannya mengandung makna yang terkadang dapat secara langsung dimengerti oleh penonton, dan terkadang juga menimbulkan penasaran. Sehingga, ada kenikmatan tersendiri yang membuat film ini terasa lain dari yang lain.

  1. nilai pendidikan

Banyak sekali nilai pendidikan yang dapat kita peroleh dari film ini. Antara lain :

    • pendidikan moral :

- ketika Harrer berbohong tentang lukanya saat mendaki dan membahayakan jiwa rekannya, kita diingatkan untuk tidak berbohong

- kita harus saling menghargai perbedaan dan menghormati kebudayaan daerah lain, jangan seperti Harrer yang mimik mukanya seolah mencemooh kebiasaan orang Tibet dalam mengusir setan dan menjulurkan lidah untuk mengucapkan ‘halo’

- membantu tidak boleh melihat ras atau suku bangsa, seperti yang dilakukan Tsarong yang dengan senang hati menjamu Harrer dan Peter untuk makan siang setelah melihat keduanya mencuri makanan anjing warga

    • pendidikan non-moral

- kita menjadi tahu bahwa Tibet adalah Jajahan Cina

- Tibet adalah negara beragama Buddha yang kehidupan spiritualnya dipimpin oleh seorang Dalai Lama yang terpilih sejak kecil

- kita menjadi tahu berbagai adat dan kebudayaan masyarakat Tibet

- tipe geografisnya terdiri atas gunung bersalju, ladang (persawahan), perkampungan, dan sungai

  1. nilai artistik

nilai artistik dapat terlihat dari bangunan – bangunan yang ditampilkan serta keindahan rancangan busana tradisionalnya (mulai dari struktur, bentuk, dan warna).

Sutradara telah berhasil menyampaikan isi dan pesan dari film tersebut. Film yang menyampaikan tentang perjuangan seorang pendaki asal Austria yang tersesat dan terseret dalam berbagai masalah ketika berusaha mencari jalan pulang dari penjara di Dehra Dunn, India ini, menawarkan suasana emosi yang menyedihkan sekaligus menegangkan. Kebudayaan yang disajikan dalam film ini kebanyakan ialah kebudayaan masyarakat Tibet yang didominasi ajaran Buddha, terutama dalam ranah kepemerintahan.

MUATAN BUDAYA

MUATAN BUDAYA

Dalam Seven Years in Tibet ini tidak hanya menayangkan gambar sesuai temanya. Namun ada banyak muatan budaya, adat (kebiasaaan), serta kepercayaan (mitos) yang dipengaruhi kehidupan religius, seperti :

- Masayarakat Tibet percaya bahwa orang asing (komunitas di luar masyarakat Tibet) tidak diperkenankan memasuki wilayah Tibet. Sebab, seperti kata Dalai Lama ke-13 bahwa suatu ketika, di saat Tibet dimasuki oleh orang asing maka kehidupan keagamaan di sana akan terancam hilang. Kekuatan asing tersebut akan merusak dan membakar kitab suci, menghancurkan biara – biara, membunuh para rahib dan mengacaukan kehidupan masyarakat yang semula tenang, aman, dan damai.

- Orang Tibet menganggap orang – orang asing sebagai setan yang harus diusir dari daerahnya dengan menepuki tangan.

- Rakyat Tibet percaya bahwa Dalai Lama (gelar) adalah reinkarnasi Avalokitesvhara yang berhak memimpin Tibet. Orang yang menjadi Dalai Lama baru haruslah orang Tibet asli yang memiliki tanggal lahir sama dengan tanggal kematian Dalai Lama sebelumnya. Sebab, orang Tibet percaya bahwa roh Dalai Lama bereinkarnasi dalam tubuh orang yang memiliki tanggal lahir sama dengan tanggal kematiannya.

- Tempat kelahiran Dalai Lama dijadikan orang Tibet sebagai tempat suci yang tertutup bagi orang asing. Di tempat itu banyak orang berjalan sambil melakukan sembahyang di sepanjang jalan.

- Kebiasaan orang Tibet dalam bersembahyang adalah berdiri sambil menepuk kedua tangan di atas kepala 1 kali, di depan dada 1 kali, di depan perut 1 kali dan kemudian menengkurapkan diri sambil bertepuk di atas kepala lagi, lalu berdiri dan mulai dari awal lagi.

- Orang Tibet selalu memberi hadiah pada orang atau tamu yang dihormatinya.

- Di Tibet, orang dihargai karena keberhasilannya mengekang ego sendiri, bukan karena prestasi seperti di Austria.

- Saat bertemu dengan pemimpin spiritualis (Dalai Lama – Kun Dun) orang harus membungkuk, bersujud, berdiri saat berbicara, tidak memendang matanya saat berbicara, tidak boleh menyentuhnya, dan wajib memenggilnya Yang Mulia.

- Pendidikan bagi penerus Dalai Lama sangat diperhatikan oleh pemerintah sebab kelak ia akan memimpin Tibet.

- Masyarakat Tibet percaya bahwa semua mahkluk adalah ibu mereka, jadi mereka selalu berhati – hati mengerjakan sesuatu agar tidak menyakitinya.

- Orang Tibet percaya bahwa adanya satu bintang yang bersinar sangat terang adalah suatu pertanda buruk akan terjadi, sehingga mereka semalam suntuk mencoba mengusirnya dengan bunyi – bunyian dari peralatan dapur, dll.

- Rakyat Tibet percaya bahwa negaranya adalah negara suci yang terpilih Dewa, sehingga mereka tidak mengakui pemimpin lain selain Dalai Lama.

- Rakyat Tibet percaya bahwa musuh dan penderitaan adalah guru yang baik sebab keduanya sama – sama membantu melatih kesabaran dalam kesusahan.

- Orang Tibet suka mengambil filosofi dari mentega. Maka dalam acara – acara akbar seperti pengangkatan Kun Dun sebagai pemimpin Tibet mereka gunakan mentega untuk membuat patung dewa – dewa, yang berarti tidak adanya suatu keabadian di dunia ini.

- Bagi orang Tibet, mengembalikan hadiah adalah suatu penghinaan yang sangat besar dan tidak dapat dimaafkan.

- Dalam perjamuan bagi orang yang akan bepergian jauh, sang tuan rumah menuangkan the mentega sebanyak dua kali. Tuangan yang pertama untuk diminum orang yang akan bepergian jauh tersebut dan tuangan yang kedua dibiarkan untuk tidak diminum dengan harapan orang tersebut akan kembali lagi untuk meminumnya (setelah pergi jauh).


KOMUNIKASI VISUAL

KOMUNIKASI VISUAL

Ø Tepuk tangan sebenarnya adalah hal yang biasa kita jumpai saat ada kekaguman tentang suatu hal. Namun, bagi orang Tibet, tepuk tangan berarti mengusir setan.

Ø Begitu juga dengan menjulurkan lidah. Bagi orang Indonesia menjulurkan lidah pada orang lain adalah suatu hal yang sangat tidak sopan. Namun, bagi warga Tibet justru sangat terhormat. Sebab, menjulurkan lidah berarti mengucapkan salam sapaan atau rasa hormat bagi orang lain.

Ø Orang – orang Tibet sangat religius dan mengagungkan Dalai Lama. Terlihat saat menuju ke Lhasa, tempat asal Dalai Lama, banyak di antara mereka yang melakukan sujud berkali - kali sepanjang jalan sebab meraka beranggapan bahwa mereka sedang menuju ke tempat paling suci di dunia.

Ø Membungkuk dan bersuduj pada Kun Dun berarti menghormati dan tunduk padanya.

Ø Bintang yang merupakan benda angkasa di dalam film ini dianggap penting, sebab mampu mensugesti warga Tibet untuk berpikir bahwa sebentar lagi akan ada musibah besar yang menimpa negerinya.

Ø Mentega yang meleleh tersinari matahari juga menjadi benda penting yang mengisyaratkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi, termasuk kekuasaan.

Ø Teh mentega yang hanya minuman biasa di Tibet mampu menyimbolkan makna yang dalam saat dituangkan oleh tuan rumah bagi tamu yang berkunjung untuk berpamitan ketika akan pergi ke tempat yang sangat jauh. Penuangan the mentega yang kedua kalinya menyiratkan pesan tidak langsung bagi si tamu agar selalu ingat pada tuan rumah dengan harapan ia dapat kembali lagi untuk meminumnya.

Blogger Templates by Blog Forum