‘Bukan Beta Bijak Berperi’ : Transformasi Puisi Melayu dengan Tradisi Baru ” ini memaparkan secara singkat mengenai adanya keunikan pada penyimpangan konvensi puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Rustam Effendi atas peraturan yang sudah ada. Keunikan itu dapat terlihat dari berbagai hal mulai dari bentuk visual hingga perioditasnya. Adapun keunikan lainnya ialah dalam bentukan puisi baru yang tercipta itu ternyata tidak sepenuhnya terjadi perubahan total, masih ada sedikit kegayutan dengan konvensi yang sudah ada.

Puisi merupakan bentuk pengucapan atau pengungkapan pikiran / perasaan dengan bahasa yang istimewa. Menggunakan bahasa sesedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin. Hal inilah yang kiranya telah dicapai oleh Rustam Effendi dalam puisinya “Bukan Beta Bijak Berperi”. Dengan kata – kata yang padat ia mampu menyampaikan maksud pikirannya, yakni tentang kemerdekaan.


“BUKAN BETA BIJAK BERPERI” :

TRANSFORMASI PUISI MELAYU

DENGAN TRADISI BARU


ANGKATAN PRA-PUJANGGA BARU

Pada tahun 1920-an, kegiatan kesusastraan tidak hanya terbatas pada Balai Pustaka. Di samping itu, telah dikenal pula penerbitan majalah dan buku – buku yang isinya kebanyakan bersifat sastra. Ada dua golongan penerbitan pada masa itu, yakni :

  1. penerbitan karangan – karangan bertendens politik, yang sering disebut sebagai “bacaan liar”
  2. penerbitan karangan – karangan yang lebih bersifat sastra.

Kegiatan mengembangkan penerbitan karangan – karangan yang lebih bersifat sastra itu lazim disebut sastra Pra-Pujangga Baru, sebab pengarang – pengarang golongan ini kemudian dikenal juga sebagai pengarang Pujangga Baru. Hasil karangan mereka pada sekitar tahun 1920 dapat dipandang sebagai sastra Pra-Pujangga Baru.

Beberapa pengarang Pra-Pujangga Baru antara lain :

1. Moh. Yamin

2. Rustam Effendi

3. Sultan Takdir Alisjahbana

4. Amir Hamzah

5. Sanusi Pane

6. Armijn Pane

7. Y.E. Tatengkeng

8. Hamidah

9. I Gusti Nyoman Putu Tisna

10. Suman Hs

11. MR. Dayoh

12. Asmara Hadi

13. A. Hasymy

14. Sutomo Jauhari Arifin


Adapun karakteristik sastra Pujangga Baru antara lain :

a. tema yang diangkat umumnya masalah kehidupan kota (modern), bukan lagi masalah adat (kawin paksa)

b. mengandung unsur nasionalitas

c. memiliki kebebasan dalam menentukan bentuk pengucapan sesuai dengan pribadi pengarang

d. bahasa Pujangga Baru adalah Bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat

e. cenderung romantik idealistik

f. adanya unsur pengaruh dari sastra lain terutama angkatan ’80-an dari Negeri Belanda

Berikut ini merupakan pemaparan singkat mengenai pengarang Rustam Effendi angkatan Pra-Pujangga Baru beserta karya puisinya yang berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi” yang merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru:

RUSTAM EFFENDI DAN PUISI “BUKAN BETA BIJAK BERPERI”

Rustam Effendi adalah salah satu dari dua pembuka sejarah baru dalam bentuk puisi, di samping Moh. Yamin.

Dua karangan Rustam Effendi yang telah dibukukan adalah :

- Bebasari

- Percikan Permenungan

Keduanya merupakan “Pasangan yang Sejoli” karena kedua buku itu dikarang dalam saat dan suasana yang bersamaan. Pecikan Permenungan yang dibuat di Padang pada Bulan Maret 1925, tidak lama setelah Bebasari terbit, lahir sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah kolonial yang merintangi peredaran buku Bebasari. Sebab, dalam buku tersebut terkandung makna keperwiraan serta heroisme yang menegaskan secara keras jeritan merdeka.

Bebasari adalah tonil atau drama bersajak dalam tiga pertunjukan (babak) yang isinya bersifat simbolik. Ceritanya mengisahkan mengenai kerajaan Maha Raja Takutar yang telah dirampas Rawana. Bujangga, putra maharaja berusaha melepaskan kekasihnya yang bernama Bebasari, anak bangsawan Sabari, yang dikurung Rawana. Dengan bantuan Sabainaracu. Bujangga berhasil mengusir Rawana dan melepaskan Bebasari dari kurungan. Akhirnya mereka pun kawin.

Simbolik drama itu jelas sekali. Rawana mengingatkan kita pada penjajah yang bersifat angkara murka, Bujangga sebagai lambang angkatan muda, dan Bebasari adalah lambang kebebasan atau kemerdekaan tanah air. Karena jelasnya sifat simbolik itu maka buku Bebasari dirintangi peredarannya oleh pemerintah waktu itu.

Kumpulan puisi Rustam yang terdiri atas 64 buah telah disatukan dalam Percikan Permenungan dan 11 di antaranya berbentuk soneta. Berbeda dengan soneta Yamin, kedua kuartren soneta Rustam Effendi tidak selalu berumus sajak yang sama. Isinya merupakan hasrat akan kemerdekaan yang dijelmakan dalam bentuk romantik, seperti syair dalam puisi “Bunda dan Anak”.

Yang menarik dari puisi – puisi Rustam lainnya (selain soneta) ialah terdapatnya keanekaragaman dalam jumlah kata dan jumlah suku kata tiap barisnya. Beberapa kemungkinan tentang jumlah suku kata tiap barisnya ialah :

1. sama jumlah suku kata tiap baris pada puisi itu, misalnya puisi yang berjudul “Dalam Kamar”

2. berselang – seling antara baris yang satu dengan baris yang lain, misalnya 6, 5, 6, 5, dst.

3. berbeda sama sekali, ada yang terdiri atas dua suku kata, ada yang terdiri atas 17 suku kata, misalnya puisi yang berjudul “Alam”.

Tentang jumlah kata tiap barisnya ada beberapa kemungkinan pula :

1. sama tiap barisnya, misalnya 4, 4, 4, 4, dst.

2. berselang – seling, misalnya 3, 4, 3, 4, dst.

3. berbeda sama sekali, misalnya 1, 4, 5, 5, 6, 7, dst.

Dengan irama (ritma) yang beraneka ragam dan dinamis itu, Rustam ingin membuktikan pula mengenai penggunaan irama yang berdasarkan kata atau suku kata, bukan berdasarkan tekanan kata semata – mata. Ia hendak menuju pada puisi kata atau puisi suku kata (puisi yang memandang kata atau suku kata sebagai kesatuan keindahan).

Puisi – puisi Rustam Effendi jelas lebih mengenal variasi dalam berbagai hal dibanding dengan karya Yamin, sehingga terasa lebih hidup dan dinamis. Akan tetapi, pembaharuan yang ia bawa tidak selamanya tertuang dalam bentuk yang baru pula sehingga sering terjadi kontradiksi antara isi dan bentuk. Hal ini jelas terlihat pada puisinya yang berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi” berikut ini :

Bukan Beta Bijak Berperi

Bukan beta bijak berperi,

Pandai mengubah madahan syair,

Bukan beta budak Negeri,

Musti menurut undangan mair.

Sarat saraf saya mungkiri,

Untaian rangkaian seloka lama,

Beta buang beta singkiri,

Sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan,

Degap – degupan di dalam kalbu,

Lemah laun lagu dengungan,

Matnya digamat rasaian waktu.

Sering saya susah sesaat,

Sebab madahan tidak nak datang,

Sering saya sulit menekat,

Sebab terkurung lukisan mamang.

Bukan beta bijak berlagu,

Dapat melemah bingkaian pantun,

Bukan beta berbuat baru,

Hanya mendengar bisikan alun.

Bentuk puisi di atas berupa puisi yang berselang – seling, baik jumlah kata maupun suku katanya. Akan tetapi, jumlah suku kata beserta irama dan pola persajakannya masih mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua bentuk yang justru hendak dibuang dan dihindari oleh penyair.

Rustam Effendi sebagai penyair Pujangga Baru, telah mengenal konvensi syair dan pantun. Namun, dalam “Bukan Beta Bikaj Berperi” ia berniat membuat puisi baru setelah mengenal puisi Eropa. Sehingga tidak heran bila ia menentang aturan dan konvensi pantun dan syair, baik mengenai konvensi bentuk formal maupun konvensi isi pikiran yang dikandungnya.

Penyimpangan konvensi itu nampak pada puisi di atas. Menurut bentuknya, sajak “Bukan Beta Bijak Berperi” itu adalah syair, sebab kelima bait berisi pernyataan yang bersambungan. Namun, sajak dalam puisi itu berpola a b a b, bukan a a a a. Sehingga, pola sajak yang tercipta akhirnya adalah pola sajak pantun. Isi sajak itu berupa pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran si aku. Hal seperti ini tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola – pola bentuk yang teratur, periodisitas sajak Rustam Effendi itu sesungguhnya masih merupakan konvensi sajak Melayu atau tradisi dajak Melayu : tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata. Buktinya :

- pantun : Pulau Pandan / jauh di tengah

- syair : Lalulah berjalan / Ken Tambunan

- Rustam Effendi : Bukan beta / bijak berperi.

Jadi, sajak Rustam Effendi merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru.

Meskipun menyimpang dari konvensi pantun dan syair, namun keteraturan konvensi pembaitan yang teratur dan kesimetrisan pembagian baris yang tetap, serta penggunaan sajak akhir masih tetap diteruskan.

Dalam “Bukan Beta Bijak Berperi” Rustam berusaha menciptakan kebaruan dengan tidak meninggalkan sama sekali konvensi sajak yang sudah ada.dalam puisi itu ia meneruskan ciri – ciri yang merupakan konvensi sajak – sajak sebelumnya sekaligus menentang konsep – konsep estetik sajak – sajak sebelumnya. Dalam hal ini terjadi ketegangan antara pembaharuan dan konvensi serta antara yang lama dengan yang baru. Di satu pihak ia meneruskan konvensi yang sudah ada dan di pihak lain ia menyimpangi konvensinya.

Dalam sajak itu korespondensi berupa pembaitan, tiap bait terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari dua satuan sintaksis (kelompok kata atau gatra) dari bait pertama sampai bait terakhir. Korespondensi dari awal bait, baris pertama sampai ke akhir bait,baris terakhir : susunannya serupa.

Periodotas sajak tersebut juga dari awal baris bait pertama sampai ke akhir baris bait terakhir, yaitu tiap baris terdiri dari dua periodus, dan tiap periodus terdiri dari dua kata. Jadi, dalam asjak ini yang berkorespondensi adalah perioditasnya dan juga jumlah baris pada tiap baitnya berulang : 4-4 (Pradopo, 2005 :8, 9).

Dapat kita simpulkan pula bahwa selain adanya kecenderungan penggunaan irama atau ritma yang berdasarkan kata atau suku kata tersebut, ada ciri lain pada puisi – puisi Rustam Effendi, yaitu :

  1. unsur persajakan atau rima sebagian besar berupa aliterasi dan asonansi
  2. banyak perbendaharaan kata yang diambil dari bahasa Minang
  3. dalam menyingkat kata tampak seenaknya saja, seperti : didengungkan ___ dengungan ; kemudahan ___ madahan; menjadi nekat ___ menekat; mengalun ___ alun, dsb. dengan tujuan hendak memenuhi jumlah suku kata tertentu atau berhubungan dengan pola persajakan atau rima.

MAKNA BAIT KE-1

Ia merasa bahwa ia bukanlah orang hebat yang mampu mengubah konvensi syair yang telah ada. Iapun bukan budak di negeri sendiri yang selalu harus menurut dan tunduk pada segala peraturan orang asing, yang secara langsung maupun tidak telah menjajah negerinya.

MAKNA BAIT KE-2

Ia hanya merubah sedikit rangkaian seloka lama dengan sentuhan baru tanpa meninggalkan konvensi yang sudah ada. Ia mencoba memberontak konvensi puisi lama itu dengan menyingkirkan beberapa ketentuan – ketentuan dan menyusun karya baru sesuai kata hati serta keinginannya.

MAKNA BAIT KE-3

Terkadang ia merasa kesulitan untuk menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Ia hanya bisa menunggu waktu yang tepat.

MAKNA BAIT KE-4

Kadang ia merasa susah atau sedih karena kemudahan tidak juga datang. Kadang ia juga kesulitan untuk memberontak karena terikatnya ia dengan peraturan yang tidak jelas faedahnya.

MAKNA BAIT KE-5

Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai melagukan pantun. Iapun mengakui bahwa ia sebenarnya tidak membuat sesuatu yang baru, melainkan hanya mendengarkan bisikan dari dirinya sendiri dan orang – orang sekitarnya yang ingin membebaskan diri dari keterbelengguan segala hal (penjajah, konvensi dalam membuat puisi, dsb.).

Selain dikenal sebagai sastrawan, Rustam Effendi juga terkenal sebagai seorang yang bergerak di bidang politik kenegaraan. Ia pernah menjadi anggota Tweede Kamer di negeri Belanda untuk mewakili Partai Komunis di sana, yaitu antara tahun 1933 – 1946. Jadi, tidak heran kalau karya – karyanya berbau politik yang kebanyakan menyindir tentang kebebasan.

Karangannya yang lain belum ada yang dibukukan, walaupun sesudah kebangkitan Angkatan 66 ia masih sering menulis pada beberapa majalah.

DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Sarwadi, H. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media.

Surana, F.X. 1989. Materi Pelajaran Bahasa Indonesia (Matbi) 2A. Solo : Tiga Serangkai.

SASTRA

MAHABHARATA

EPOS KEAGAMAAN

Cerita Mahabharata merupakan sebuah Epos atau Wiracarita, yaitu cerita yang bersifat kepahlawanan.

Yang dianggap sebagai pengarangnya ialah Wiyasa. Tetapi pendapat lain mengatakan banwa Wiyasa hanya menyusun saja, yaitu menyusun dari bahan yang sudah ada. Alasannya ialah :

1. Perkembangan cerita ini meliputi masa 800 tahun, yaitu dari 400 tahun Sebelum Masehi sampai 400 tahun Sesudah Masehi.

2. Ceritanya tersusun atas 100.000 seloka. Jadi, sangat panjang.

3. Gaya bahasanya bermacam – macam.


Isi Mahabharata tidak saja merupakan Wiracarita, tetapi juga bersifat keagamaan. Buktinya ialah :

1. Menceritakan pertempuran para ksatria, antara keluarga Pandawa dengan keluarga Korawa

2. Puisi keagamaan yang isinya memuja kasta Brahmana

PEMBAGIAN CERITA MAHABHARATA

Cerita Mahabharata terdiri atas 18 bagian. Bagian – bagian itu disebut parwa. Selain itu ada lagi tambahannya yang disebut harvamsya. Nama – nama parwa itu ialah :

1. Adiparwa : bagian yang pertama

2. Sabhaparwa : cerita tentang perjudian Yudhistira

3. Wanaparwa :cerita tentang kehidupan kelima Pandawa dalam hutan selama 12 tahun

4. Wirataparwa : cerita tentang kelima Pandawa di istana Wirata

5. Udyogaparwa : cerita tentang perundingan Kresna dengan Korawa

6. Bhismaparwa : cerita tentang pertempuran selama 10 hari. Bhisma sebagai panglima perang gugur

7. Dronaparwa : cerita tentang peperangan hari ke-11 sampai hari ke-15

8. Karnaparwa : cerita tentang gugurnya Karna (anak Dewa Surya) oleh panah Arjuna

9. Salyaparwa : cerita tentang pertempuran hari terakhir yaitu hari ke-18

10. Sauptikaparwa : cerita tentang serangan malam terhadap Pandawa. Keluarga Pandawa terbunuh kecuali kelima Pandawa, Kresna, dan Dropadi

11. Striparwa : cerita tentang ratap tangis kaum wanita pada waktu malapetaka terjadi

12. Santiparwa : cerita sisipan, tak ada hubungan dengan cerita sebelumnya

13. Anusasanaparwa : cerita sisipan dari buku kaum Brahmana

14. Aswamedhikaparwa : lanjutan cerita ke-11. Yudhistira mengadakan kurban kuda setelah selesai pertempuran

15. Asramawasikaparwa : cerita tentang Destarasta mengundurkan diri dan bertapa di hutan, karena kecewa

16. Mausalaparwa : cerita tentang binasanya keluarga Kresna dan kembalinya Kresna sebagai Wisnu

17. Mahaprastanikaparwa : cerita tentang Yudhistira dan Pandawa lainnya masuk surga

18. Swargarohanaparwa : cerita terakhir tentang Pandawa di Surgaloka.

MUNCULNYA CERITA MAHABHARATA

Cerita Mahabharata mula – mula dituturkan oleh Rsi Waisamapayana dalam upacara kurban yang diadakan oleh Raja Janamejaya (cucu Abimayu). Upacara itu dihadiri para Brahmana, di antaranya Brahmana Ugraisrawa. Brahmana inilah yang meneruskan cerita ini kepada Rsi dan para pendeta yang berhimpun di Hutan Naimisa.

RINGKASAN CERITANYA

Kerajaan Hastina di negeri Barata memerintah Prabu Syantanu dari keluarga Kuru. Ia sangat gagah dan perkasa. Dengan Dewi Gangga ia berputra seorang bernama Bisma.

Pada suatu hari Syantanu melihat putri raja nelayan yang cantik bernama Setiawati. Ia iangin memperistrinya. Ayah Setiawati mahu memberikan putrinya asal keturunananya kelak dinobatkan menjadi raja, dan bukan Bisma.

Melihat kedudukan ayahnya, maka Bisma menyetujui permintaan raja nelayan. Ia berjanji tidak akan menuntut haknya atas Kerajaan Hastinapura. Untuk itu Bisma bersedia tidak menikah, supaya tidak ada keturunannya kelak yang mungkin menuntut hak atas kerajaan itu.

Atas pernikahan Syantanu dengan Setiawati lahirlah Tsitragada dan Witsitrawirya. Tsitragada tewas oleh Gandawara. Witsitrawirya menikah dengan dua orang putri raja Ambika dan Ambalika. Tetapi Witsitrawirya meninggal dunia sebelum ada keturunan. Setiawati minta supaya Wiyasa (putranya yang lahir atas perkawinananya dengan Palasara) dapat menggantikan Witsitrawirya sebagai suami Ambika dan Ambalika, agar keturunannya tidak punah.

Wiyasa seorang Rsi (orang suci) yang kenamaan. Dengan Ambika ia berputra seorang Destarastra. Dengan Ambalika ia berputra Pandu. Destarastra menikah dengan Gandari dan berputra Duryadana dengan 99 orang adiknya. Keurunannya ini disebut Korawa.

Pandu menikah dengan Kunthi dan Madi. Keturunan Pandu ini disebut Pandawa. Sebenarnya Pandu tidak ada keturunan. Anaknya itu didapat atas perkawinan istri – istrinya dengan para dewa, yaitu :

Kunti dengan dewa Darma, lahirlah Yudistira

Kunti dengan dewaWayu, lahirlah Bima

Kunti dengan dewa Indra, lahirlah Arjuna

Kunti dengan dewa Surya, lahirlah Karna

Kunti dengan dewa Aswin, lahirlah Nakula dan Sadewa (kembar)

Setelah Pandu wafat, tahta kerajaan dipegang oleh Destarasta. Putra – putra Pandu (Lima Pandawa) dididik bersama 100 orang putra Destarastra. Durno (paman Korawa) diserahi tugas mendidik anak – anank itu. Tentu saja Durno lebih suka bila Korawa yang memegang tahta kerajaan kelak. Dicarinya usaha untuk menjatuhkan Pandawa. Diajaklah Duryadana berjudi dengan Yudistira. Sampai – sampai kerajaan Hastinapura yang ditaruhkan. Karena Duryadana selalu mendapat isyarat dari pamannya Durno, maka ia selalu menang. Pihak Pandawa tidak mahu menerima kecurangan itu dan disampaikanlah kepada Destarastra. Destarastra mendamaikan mereka dengan mengembalikan hak Pandawa. Tapi Korawa menolak dan minta supaya perjudian diulang kembali. Kali ini harus ditepati. Pamdawa pun kalah lagi sehingga kerajaan Hastinapura betul – betul harus diserahkan kepada Korawa. Pandawa harus keluar dari Hastinapura, diusir selam 12 tahun.

Pandawa mengembara dalam hutan, menderita, dan melarat. Ketika sedang istirahat dalam sebuah ponok, secara diam – diam pondok dibakar atas suruhan Duryadana, untuk membinasakan Pandawa. Namun Pandawa dapat terhindar dari jebakan itu.

Pada suatu hari mereka sampai di negeri Matsya. Kebetulan raja Matsya sedang mengadakan swayembara (sayembara). Siapa yang dapat mengangkat dan memanahkan sebuah panah yang berat, tepat mengenai sasaran, orang itu akan dijodohkan dengan putrinya yang cantik, dijadikan menantunya. Dengan mudah Arjuna dapat melakukannya sehingga ia dinikahkan dengan putri raja Matsya bernama Dropadi. Begitu juga lima Pandawa lainnya, dikawinkan dengan Dropadi. Jadi, perkawinan secara poliandri, yaitu seorang istri memiliki beberapa orang suami.

Menurut perjanjian pada tahun ke-13 para Pandawa harus menghilang di tempat yang telah ditentukan. Namun mereka telah memutuskan untuk bersembunyi di istana Matsya. Setelah berlalu masa 13 tahun, tibalah saat pembalasan dendam kaum Pandawa terhadap Korawa yang diceritakan dalam peperangan 18 hari di Kuru Ksetra (Lapangan Kuru).

Bagian yang indah dan penting dalam Mahabharata ialah Bhismaparwa (parwa ke-6). Bagian ini menceritakan tentang percakapan Kresna (penjelmaan dewa Wisnu) dengan Arjuna, pahlawan Pandawa, ketika Arjuna diliputi keraguan untuk menggempur saudaranya kaum Korawa, lebih – lebih setelah melihat mayat bergelimpangan dan darah bercucuran. Mendengarkan ucapan –ucapan Wisnu tentang perjuangan menegakkan kebenaran dan hak, maka Arjuna bangkit semangatnya untuk berjuang dengan berbagai taktik penyerangan dan berhasil mencapai kemenangan.

Percakapan Arjuna dengan Kresna (Wisnu) itu disebut Bhagavad Gita (Bhagavad=Tuhan ; Gita=madah, nyanyian). Isinya mengenai hak, kewajiban, kebenaran, dan menjauhi hawa nafsu ketika melakukan kewajiban itu. Bhagavad Gita ini terkenal ke seluruh dunia. Sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya dalam bahasa : Latin, Inggris, Belanda, Jerman, Prancis. Ke dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Amir Hamzah yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru.

MAHABHARATA SEBUAH KARYA BESAR

Di Indonesia cerita Mahabharata mendapat perhatian penuh pada zaman kerajaan Hindu. Pada tahun 1000 Raja Darmawangsa menyuruh cerita ini disalin ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada pertengahan abad ke-12 terbit buku Bratayuda dalam Bahasa Jawa Kuno disusun oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Isinya menceritakan tentang perang besar di Kuru Ksetra.

Pada zaman kerajaaan Airlangga, Mpu Kanwa menyusun Kakawin Arjuna Wiwaha (1019-1042). Kakawin ini dikenal pula dengan nama Lakon Mintaraga. Buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda oleh Prof.Dr. Purbatjaraka, dan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sanuse Pane.

Isi cerita Gatotkacasraya juga mengambil bahan dari cerita Mahabharata. Cerita – cerita tersebut menjadi hasil kesusastraan Jawa Kuno dan kemudian masuk dan menjadi sastra Indonesia. Dalam kesusastraan Indonesia kita kenal berbagai judul yang mengandung cerita Mahabharata, yaitu :

1. Hikayat Pandawa Lima

2. Hikayat Pandawa Jaya

3. Hikayat Sang Boma

4. Maharaja Boma

5. Hikayat Perang Pandawa Jaya

6. Lang – lang Buan





RAMAYANA


Ramayana sama sifatnya dengan Mahabarata, yaitu Wiracarita dan berhubungan dengan agama. Yang dianggap sebagai penulis ialah Walmiki, seorang rsi yang memelihara putra Rama.

Sama halnya dengan Wiyasa, Walmiki dianggap sebagai penyusun saja, dengan alasan :

1. perkembangan ceritanya dalam jarak waktu yang lama, yaitu selama 400 tahun. Mulai 200 tahun Sebelum Masehi dan berakhir 200 than Sesudah Masehi.

2. ceritanya tersusun atas 24.000 seloka. Tiap seloka tersusun atas 28 s. d. 32 suku kata. Jadi, sangat panjang.

Ramayana dianggap lebih dari Wiracarita. Orang Hindu menganggap Rama sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, sehingga Dewa Wisnu disebut juga Dewa Rama. Sebesar – besar dosa yang dibuat manusia, dapat terhapus dengan mengucapkan Ramantra (Mantra Rama).

PEMBAGIAN RAMAYANA

Cerita Ramayana terbagi atas bagian – bagian yang disebut kanda. Semuanya ada 7 kanda, yaitu :

1. Balakanda : Cerita pertama tentang Wisnu akan menjelma ke dunia. Ceritanya kebanyakan bersifat mite.

2. Ayodyakanda : Cerita tentang Raja Dasaratha di Ayodya.

3. Aranyakanda : Cerita tentang percakapan Barata dengan Rama di Hutan Dandaka mengenai tahta kerajaan.

4. Kiskandakanda : Cerita tentang Sugriwa raja kera dengan laskarnya.

5. Sundarakanda : Cerita tentang keindahan kerajaan Langkapura dan pertemua Hanoman dengan Dewi Sita.

6. Yudhakanda : Cerita tentang peperangan Rama melawan Rawana.

7. Uttarakanda : Cerita tentang pengucilan Sita (hukuman dari Rama) dan cerita akhir hayat Rama sampai ia menjadi Wisnu kembali.

RINGKASAN CERITA

Raja Dasarata di Ayodya mempunyai beberapa istri. Dengan permaisuri ia berputra Rama. Dengan istrinya yang ke-2 bernama Kaikeyi berputra seorang bernama Barata. Putra – putranya yang lain ialah Laksmana dan Satrugna. Putra – putranya ini dididik sebagaimana pendidikan yang diberikan para putra raja.

Dalam suatu sayembara Rama mendapat Dewi Sita yang sangat cantik sebagai istrinya. Dewi Sita adalah anak Raja Janaka yang memerintah di Mitila.

Pada waktu Dasarata sakit ia pernah berjanji kepada Kaikeyi bahwa kelak tahta kerajaan akan diserahkannya kepada Barata, untuk membalas jasa Kaikeyi telah dengan tekun merawatnya.

Setelah Dasarata tua, tahta kerajaan diserahkan kepada Rama. Karena itu Kaikeyi menggugat dan mengingatkan baginda akan janjinya dahulu. Tuntutan ibu tiri Rama itu ialah :

1. Barata harus dinobatkan menjadi raja Ayodya

2. Rama harus dibuang dalam hutan selama 14 tahun

Dasarata harus menepati janji sebagai seorang ksatria dan dengan sedih ia menyampaikan keputusan atas tuntutan di atas.

Rama mengundurkan diri dan mengembara di hutan Dandaka selama 14 tahun bersama itri dan adiknya Laksmana. Hal ini sangat mengharukan rakyat Ayodya yng sangat mencintai Rama. Karena sedih memikirkan hal itu maka mangkatlah Dastarata.

Pada suatu hari Sita dirampas raksasa Wirada. Tetapi raksasa itu dapat dikalahkan Rama dan Laksmana. Pada hari lain Rama berjumpa dengan Surpanaka adik perempuan Raja Rawana yang memerintah kerajaan Langka. Surpanaka jatuh cinta kepada Rama, tetapi Rama tidak mahu tergoda. Begitu pula cinta Surpanaka terhadap Laksmana tidak mendapat sambutan. Bahkan Laksmana mengerat telinga dan hidung Surpanaka karena dibencinya. Surpanaka segera mengadukan halnya kepada Rahwana (Dasamuka = Sepuluh Muka) yang sudah mengetahui kecantikan Dewi Sita. Timbullah keinginannya untuk melarikan Dewi Sita.

Raja Rahwana segera memandangi tempat perkemahan Rama dengan pengiringnya Narisa yang dapat menjelma sebagai kijang emas. Narisa menjelma seekor kijang emas dan mendekat ke kemah Dewi Sita. Setelah terlihat oleh Sita, inginlah ia memiliki kijang emas itu dan minta supaya Rama mahu menangkapnya. Sebelum Rama berangkat mengejar kijang emas terlebih dahulu ia membuat lingkaran kesaktian mengelilingi kemah mereka. Siapa yang masuk lingkaran itu tidak dapat keluar lagi. Tapi semua ini diperhatikan dan diketahui oleh Rahwana dari jauh. Setelah Rama jauh dari kemah, mengejar kijang emas, terdengarlah pekikan orang. Sita mengira Rama mendapat bahaya. Segera Laksmana disuruh Sita menyusul abangnya. Mula – mula Laksmana menolak, karena telah dipesan oleh Rama supaya Laksmana tidak meninggalkan Sita, sebelum Rama kembali. Sita lalu menyindir dengan mengatakan “Istri kakak lebih penting daripada kakak sendiri.

Mendengar sindiran itu, maka Laksmana menyusul abangnya. Rahwana segera menghampiri kemah menjelma seorang peminta – minta berdiri di luar lingkaran kesaktian. Ia mohon agar Sita dapat memberinya air minum karena ia sangat haus. Ketika Sita mengulurkan air minum itulah Rahwana menarik tangan Sita dan langsung dibawanya terbang ke Langkapura (Sailon) tempat kerajaannya. Rama jatuh pingsan setelah kembali, Sita telah hilang dari kemah.

Di udara burung Jatayu melihat Sita dibawa oleh Rahwana. Jatayu segera menyerang Rahwana. Tapi ia terpukul bagian sayapnya oleh gada sakti Rahwana. Rahwana dengan mudah mengalahkan Jatayu karena ia mempunyai sepuluh muka yang dapat melihat segenap penjuru, selain mempunyai gada sakti. Untung saja Sita sempat melemparkan cincinnya kepada Jatayu. Cincin itu diberikan Jatayu kepada Rama sebagai bukti tenteng Sita, setelah pada suatu ketika Rama sampai di hutan tempat Jatayu jatuh. Jatayulah yang sempat memberitahukan hal Sita, sebelum ia menghembuskan napas terakhir.

Dengan pertolongan Kabanda, Rama, dan Laksmana mendapat petunjuk supaya minta bantuan kepada Sugriwa raja kera, untuk menaklukkan Rahwana. Sugriwa mahu membantu asalkan terlebih dahulu ia dibantu menaklukkan saudaranya Walin, yang memusuhinya.

Hanoman panglima raja kera pergi menyusup ke Langkapura untuk memata – matai Rahwana. Ia menyamar sebagai seekor kucing dan berhasil masuk ke istana Rahwana menemui Dewi Sita. Tahulah ia bahwa Dewi Sita tidak kekurangan suatu apapun. Sita sangat gembira berjumpa dengan Hanoman yang juga menyampaikan berita tentang suaminya. Tapi sayang ketika akan pulang ia tertangkap. Hanoman tidak jadi dibunuh setelah ia mengaku sebagai utusan. Sebagai ganti hukumannya, dibakarlah ekornya dengan mengikatkan bahan – bahan yang mudah terbakar. Dalam keadaan ekor terbakar Hanoman melompat – lompat dari bangunan yang satu ke bangunan yang lain yang menimbulkan kebakaran besar di Langkapura. Senanglah hati Rama mendapat kabar dari Hanoman bahwa istrinya Sita tidak diganggu Rahwana.

Rama mulai menyusun penyerangan. Untung sekali ia mendapt bantuan Wibisana, saudara Rahwana yang menyalahkan perbuatan Rahwana melarikan Sita. Dengan panah Rama yang sakti, terjadilah daratan ke arah Langkapura. Dalam peperangan itu Rahwana tewas dan Rama menang. Langkapura diserahkan kepada Wibisana yang telah membantunya. Akhirnya masa pembuangan 14 tahun selesai. Rama dan Sita pulang ke Ayodya dengan upacara yang diadakan secara besar – besaran.

ANEKA RAGAM CERITA RAMAYANA

Dalam cerita Sri Rama Indonesia, cerita tentang Ramayana ini berakhir dengan kesedihan. Rama merasa curiga terhadap kesuccian Sita. Hal itu karena menurutnya ia ternoda oleh Rahwana di istana Langkapura. Tapi, untuk membuktikan tentang kesuciannya Sita diuji dengan api. Ternyata Sita tidak terbakar dalam kobaran api yang menandakan bahwa ia betul – betul tidak dinodai oleh Rahwana. Tetapi Rama tetap belum percaya. Sita dibuang ke hutan, dan untunglah ia mendapat perlindungan Rsi Walmiki (penyusun Ramayana). Dalam pertapaan Sita diciptakanlah oleh Maharsi anak Sita yang diberi nama Kusa dan Tilawa. Walmiki memperkenalkan kedua, putranya tersebut kepada Rama, yaitu putra yang lahir dari pertapaan Sita. Karena Rama tetap belum percaya, maka Sita berkata, bahwa bumi akan terbuka dan menelannya jika ia sungguh tidak ternoda oleh Rahwana. Maka, terjadilah hal yang demikian., bahwa Sita ditelan oleh bumi. Tinggallah Rama dengan penyesalan dan ucapan “Sungguh suci kau Sita”.

Rama kembali ke hutan, bertapa, sampai akhir hayatnya., dan ia kembali sebagai Wisnu di keindraan. Tilawa diangkat menjadi raja pengganti Rama di Ayodya.

RAMAYANA MENJADI SASTRA INDONESIA

Karena eratnya pergaulan bangsa Indonesia dengan bangsa Hindu, maka hasil kesusastraan Hindu ini masuk ke dalam sastra Indonesia dan dengan variasianya akhirnya juga menjadi milik Indonesia. Perubahan dari yang semula terjadi karena :

1. adanya penyesuaian dengan adat - istiadat dan kebiasaan di Indonesia

2. variasi setiap penutur yang menyampaikan cerita ini secara lisan

Dalam sastra Indonesia cerita ini lebih dikenal dengan nama Hikayat Sri Rama. Sudah tentu banyak perbedaannya dari Ramayana yang semula. Lebih – lebih dalam Sri Rama sudah banyak kita jumpai hal – hal yang berhubungan dengan Agama Islam. Di India pun cerita Ramayana tidak sama. Cerita Ramayana di India Utara berbeda dengan di India Selatan. Menurut Sttuterheim, Ramayana Walmiki, bukanlah tertua di India, karena selain itu banyak lagi cerita tentang Ramayana.

Ramayana dalam Bahasa Hindu disusun oleh Tulsi Das. Buku ini dianggap sebagai buku agama yang dianut oleh lebih kurang 100 juta orang di India. Ada pula Ramayana yang disusun berbentuk drama yang disusun oleh Kalisada.

Menurut pendapat ahli, Ramayana yang masuk ke Indonesia bukan Ramayana yang disusun oleh Walmiki, melainkan yang berasal dari India Utara. Oleh Yogiswara, cerita yang masuk dari India Utara ini disalin ke dalam Bahsa Jawa Kuno pada tahun 925. kemudian pada tahun 1900 diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Prof. Dr. Kern dan diterbitkan di Leiden (Belanda). Oleh karena banyak yang tidak mengetahui Bahasa Jawa Kuno, maka Yasdipura I menerjemahkannya ke dalam Bahasa Jawa Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Hikayat Sri Rama dalam kesusastraan Indonesia ada dua macam, yaitu :

1. Yang diterbitkan oleh Roorda Van Eysinga pada tahun 1843. merupakan cerita yang tertua dan tidak banyak bedanya dengan Ramayana Walmiki.

2. Yang diterbitkan oleh Shellabear tahun 1915. isinya sangat berbeda dengan Ramayana Walmiki.

Lama – kelamaan tokoh Laksmana di Indonesia lebih disenangi daripada Rama, karena Rama mencerminkan orang yang lekas bimbang, kurang berani, dan pencuriga. Sedangkan Laksmana mencerminkan orang yang mahu berkorban, berani, jujur, dan berjasa. Kemudian Laksmana menjadi nama pangkat perwira tinggi dalam Angkatan Laut.

Masyarakat Indonesia lebih menyukai cerita Ramayana daripada Mahabarata, karena pada cerita Ramayana terdapat unsur kesetiaan sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia. Sedangkan pada cerita Mahabarata lebih menonjol unsur pertempuran yang menimbulkan banyak korban. Namun demikian, bagian – bagian cerita Mahabarata tetap disenangi masyarakat Indonesia. Cerita – cerita dalam pewayangan banyak yang berhubungan dengan cerita Mahabarata ini.

Cerita – cerita dalam Mahabarata banyak dipahatkan di dinding candi Borobudur dan candi lainnya. Demikian juga cerita Ramayana, dipahatkan pada candi Prambanan. Pada candi Prambanan terkenal pahatan Larajonggrang, cerita yang terkenal di kalangan penduduk di sekitarnya.


CERITA PANJI

TIMBULNYA CERITA PANJI

Cerita Panji merupakan cerita Jawa asli. Cerita ini timbul pada zaman Kerajaan Kediri dan Jenggala. Tetapi menurut Prof. Purbacaraka, baru dibukukan (disalin) pada masa Kerajaan Majapahit. Cerita Panji dianggap bersumber dari Kakawin Smara Dahana yang ditulis oleh Mpu Dharmaja. Jadi, ditulis dari Bahasa Jawa Kuno.

Hingga sekarang Cerita Panji ini banyak macamnya. Tetapi pokok ceritanya sama, yaitu tentang Panji Semirang.

Nama – nama lainnya ialah :

1. Hikayat Panji Kuda Semirang

2. Hikayat Dalang Indera Kusuma

3. Mesa Lara Kusuma Cabut Tunggal

4. Mesa Urip Panji Jayalelana

5. Undakan Panurat

6. Panji Layang Tilam

7. Dewa Asmara

8. Endanng Mablt

9. Mesa Taman Wilakusuma

10. Panji Wilakusuma

11. Cekel Waneng Pati

12. Jaran Kinanti Asmarandana

13. Hikayat Noyokusumo

Di Palembang cerita ini dikenal dengan nama Anggreni. Di Bali dikenal dengan nama Malat. Dalam bentuk syair dikenal dengan nama Syair Ken Tambuhan dan Syair Panji Semirang.

RINGKASAN CERITA

Raja Daha mempunyai 2 orang putri. Dari permaisurinya lahir seorang putri bernama Galuh Candra Kirana, cantik dan lemah lembut tutur katanya, membuat orang tertarik kepadanya. Seorang putri lagi bernama Galuh Ajeng, keturunan yang diperoleh atas perkawinandengan selirnya bernama Paduka Liku. Tabiat Galuh Ajeng tidak baik dan selalu iri hati terhadap kakak tirinya Galuh Candra Kirana. Dayang – dayang dan orang – orang istana tidak senang kepadanya.

Baginda raja mempunyai beberapa orang saudara. Seorang menjadi raja di Kahuripan dan seorang menjadi raja di Gagelang. Seorang lagi wanita, menjadi pertapa di Gunung Wilis dengan gelar Gandasari.

Raja Kahuripan mempunyai seorang putra yang tampan dan baik perangainya, bernama Raden Inu Kertapati. Raja Kahuripan ingin supaya putranya menikah dengan putri sebagaimana layaknya menantu raja. Pilihan jatuh kepada putri saudaranya yang cantik, yaitu Galuh Candra Kirana. Dikirimlah raja utusan ke Daha untuk meminang, dan dengan senang hati raja dan rakyat Daha menerima pinangan itu. Paduka Liku saja lah yang tidak senang. Timbul maksud jahatnya menyingkirkan permaisuri serta Galuh Candra Kirana, agar ia dapat menggantikan kedudukan sebagai permaisuri dan Galuh Ajeng dapat dijodohkan dengan Raden Inu Kertapati.

Pada suatu hari dibuat tapai beracun dan disuruhnya seorang dayang memberikan tapai itu kepada permaisuri. Permaisuri senang hati menerimanya, karena baru kali itu Paduka Liku megirimkan makanan untuk dia. Selain itu, Paduka Liku menyuruh adiknya minta azimat (guna – guna) kepada seorang pertapa sakti, agar raja sayang kepadanya.

Ketika sedang duduk santai pada sore hari yang sejuk, permaisuri teringat kepada tapai pemberian Paduka Liku. Disuruhnya seorang dayang mengambil apai itu. Baru saja tapai itu dimakan, tiba – tiba badan permaisuri kejang, mata terbelalak dan mulutnya berbusa. Dayang – dayang menjadi panik, menangis dan Candra Kirana menjerit ketika ibunya dalam keadaan demikian. Demikian pula Mahadewi, selir baginda yang satu lagi sangat merasa sedih atas kematian permaisuri. Tergopoh – gopoh baginda datang dan sangat marah kepada Paduka Liku atas bencana yang ditimbulkannya. Namun setelah berhadapan dengan Paduka Liku, baginda berubah sikap menjadi tenang dan tetap ramah kepadanya.

Kabar tentang wafatnya permaisuri Daha sampai ke Kahuripan. Baginda raja Kahuripan merasa kasihan kepada Candra Kirana atas nasibnya itu. Untuk menghiburnya, beginda ingin mengirimkan bingkisan kepada calon menantunya. Raden Inu Kertapati disuruh membuat 2 buah boneka. Satu dari emas dan satu lagi dari perak. Boneka emas dibungkus dengan kain biasa, dan boneka perak dibungkus dengan sutera yang indah. Setelah bingkisan tiba di Daha, Baginda menyuruh Galuh Ajeng memilih lebih dahulu. Kerena tamaknya, diambillah bungkusan sutera dan yang berbungkus jelek diberikan kepada Candra Kirana.

Betapa gembiranya Candra Kirana setelah membuka bungkusan ternyatayang didapatkannya adalah boneka emas yang berkilau – kilauan. Ditimang – timangnya boneka itu dan selalu dibawanya ke mana ia pergi. Akhirnya Galuh Ajeng mengetahui bahwa boneka kakaknya jauh lebih bagus dan ia ingin memilikinya. Atas bujukan Paduka Liku, baginda menyuruh Candra Kirana agar menukarkan boneka itu dengan boneka Galuh Ajeng. Karena Candra Kirana tidak mahu menyerahkan bonekanya, baginda marah. Candra Kirana diusir dan terhuyung – huyung dituntun Mahadewi ke peraduannya, bersama para dayang dan pengasuh.

Keesokan harinya, menjelang subuh Candra Kirana dan pengiring – pengiringnya meninggalkan istana pergi tanpa tujuan. Di perbatasan antara Daha dan Kahuripan, menetaplah mereka, membangun kerajaan kecil dan dengan perseujuan dayang –dayang dialah yang menjadi rajanya. Untuk itu mereka harus menyamar sebagai pria dan ia sendiri mengganti nama dengan Panji Semirang. Untuk memperkuat kerajaan, mereka melakukan perampokan dan memaksa semua orang yang ditahan menetap di tempat itu. Dengan demikian, rakyat makin bertambah dan kerajaan makin kuat.

Berita tentang kerajaan yang diperintah oleh Panji Semirang, akhirnya sampai juga ke Kahuripan. Pada waktu utusan raja Kahuripan membawa barang dan uang mas kawin unuk meminang Galuh Candra Kirana, mereka dicega dan dirampok tentara Panji Semirang. Barang rampasan dan uang hanya akan dikembalikan apabila Raden Inu Kertapati datang menghadap Panji Semirang.

Betapa heran dan takjub Raden Inu Kertapati memandang Panji Semirang seorang raja yang menarik, simpatik, cantik dengan suaranya lembut merdu. Diadakanlah jamuan di istana Panji Semirang untuk menyambut kedatangan Raden Inu Kertapati. Keesokan harinya, setelah semua barang dan uang dikembalikan, berangkatlah Raden Inu Kertapati beserta rombongan meneruskan pejalanan ke Daha menyerahkan uang jujuran (mas kawin) kepada raja Daha.

Betapa pedih hati Panji Semirag memikirkan kekasihnya akan melangsungkan pernikahan dengan Galuh Ajeng di Daha. Karena itu ia memutuskan hendak pergi menjumpai bibinya, Biku Gandasari di Gunung Wilis dengan brpakaian wanita, untuk minta nasihat. Biku Gandasari sangat terharu mendengar cerita dan derita kemenakannya itu. Ia menganjurkan supaya Candra Kirana pergi ke Gagelang ke tempat pamannya. Karena itu kembali Candra Kirana dan rombongan berpakaian laki – laki dan menyamar sebagai pemain gambuh (pengamen) dengan nama Gambuh Warga Asmara. Mereka berkeliling dari kota ke kota sambil ngamen, sampailah ke Gagelang. Semua orang menyenangi permainan Gambuh Warga Asmara.

Sejak hari pertama pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Galuh Ajeng, ia menjadi pendiam, sedih hati, karena diketahuinya bahwa istrinya itu bukanlah Galuh Candra Kirana. Ia merasa teertipu oleh Paduka Liku. Betapa ingin hatinya berjumpa dengan Candra Kirana kekasih yag dicintainya. Untuk menghibur hatinya ia memutuskan berangkat ke kerajan pamannya di Gagelang. Para pengiringnya mengatakan bahwa di Gagelang ada rombongan pemain gambuh baik penampilannya. Usul itu dipenuhi karena memang Raden Inu merasa ingin hiburan.

Betapa menarik dan mengharukan permainan gambuh itu dan Inu Kertapati curiga melihat gerak – gerik para pemain gambuh yang luwes bagai wanita. Bahkan ia merasa telah pernah melihat wajah – wajah mereka. Kaarena hari telah larut malam, maka rombongan itu disuruh menginap di dalam keraton di puri pesantren. Di tempat peristirahatannya Candra Kirana mengenakan pakaian wanita dan karena rindu kepada kekasihnya ditimang – timangnyalah boneka emasnya sambil menyanyikan lagu yang merawankan hati.

Raden Inu Kertapati ingin sekali mengetahui anggota Gambuh Warga Asmara yang sebenarnya, dengan mengintip di tempat peristirahatan meraka. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat seorang putri menimang – nimang boneka emas yang pernah diberikannya kepada Candra Kirana. Tanpa ragu ia memastikan bahwa sebenarnya wanita itulah Candra Kirana yang sedang dicarinya. Dengan hati yang tak sabar lagi pintu kamar dibukanya dan bertemulah keduanya melepaskan rasa rindu, kasih dan mesra yang telah lama terpendam. Candra Kirana dibawanya ke istana Kahuripan dan menyampaikannya kepada baginda apa sebenarnya yang telah terjadi. Candra Kirana minta maaf atas kekeliruan yang telah diperbuatnya. Dipersiapkanlah segala sesuatu untuk upacara pernikahan resmi antara Raden Inu Kertapati dengan Galuh Candra Kirana.

Paduka Liku menjadi kecut hatinya tatkala mendengar berita itu. Raja Daha pun tak mahu memperdulikannya lagi. Ia menyuruh adiknya untuk minta guna – guna kepada pertapa yang pernah diminta pertolongannya. Tetapi sayang di tengah perjalanan adiknya itu disambar petir dan meninggal dunia. Paduka Liku putus asa lalu bunuh diri.

PANJI SEMIRANG DI KAMBOJA

‘Cerita Panji ini dikenal juga di Vietnam dan Kamboja. Hal ini membuktikan bahwa sejak dahulu sudah ada hubungan kebudayaan antara Indonesia dengan Kamboja. Cerita ini dibawa ke sana oleh seorang wanita Islam.

Menurut Prof. Purbatjaraka, cerita Panji Semirang yang dibawa ke Kamboja itu dalam tulisan Arab – Melayu. Tulisan ini kurang dipahami oleh orang Kamboja pada waktu itu, sehingga timbul beberapa perbedan nama, misalnya :

Inu (Raden Inu) disebut Eynao

Gelang (Gagelang) disebut Kalang

Gunung Pucangan disebut Phoum Pachangan

Kertapati (Raden Inu Kertapati) disebut Karaspati

HUBUNGANNYA DENGAN KEPERCAYAAN LAMA

Menurut Dr. Rasser cerita Panji ini berdasarkan kepada Totemistische Mythe yaitu hikayat yang berdasarkan kepada kepercayaan lama masyarakat Jawa. Hikayat ini ada persamaannya dengan Zonnemythen yaitu hikayat yang berhubungan dengan dewa matahari pada bangsa Yunani.




CERITA BERBINGKAI

Cerita berbingkai termasuk cerita lama dan disebut juga cerita bersusun atau roman cyclus. Yang dimaksud dengan cerita berbingkai ialah cerita yang di dalamnya terdapat beberapa cerita yang bersusun. Atau beberapa cerita yang bersusun. Atau beberapa cerita yang berkaitan terdapat dalam sebuah serita.

Cerita berbingkai yang kita kenal ada 5 macam, yaitu :

1. Pancatantra

2. Hikayat 1001 Malam

3. Hikayat Bayam Budiman

4. Hikayat Bahtiar

5. Hikayat Kalila wa Dimnah


HIKAYAT PANCATANTRA

Hikayat ini berasal dari India. Panca : lima ; tantra : cerita. Pancatantra dianggap sebagai sumber cerita binatang. Hikayat ini dikarang oleh Baidaba, seorang muslim India. Dikarangnya pada zaman kerajaan Labsyalin dalam Bahasa Sanskerta.

Buku cerita terkenal Hitopadesya yang disusun oleh Narajana bersumber dari Pancatantra ini.

RINGKASAN CERITANYA

Seorang raja di Paduli Parum bernama Sugadarma (Agmarasakti) mempunyai 4 orang putra yang sangat bodoh dan malas. Sugadarma khawatir siapa yang dapat menggantikan tahta pemerintahannya kelak, jika ia mangkat. Dipanggilnya para Brahma, untuk menanyakan kesalahan atau dosa apa gerangan yang telah diperbuatnya, sehingga ia mendapat putra – putra yang bodoh itu. Ditanyanya pula siapa di antara mereka yang bersedia mendidik anak – anaknya itu.

Akhirnya seorang Brahma bernama Sumasanma (Wisnu Sarma) menyanggupi akan mendidik dan mengajar putra – putra raja tersebut. Sumasanma hanya mendidik mereka dengan jalan bercerita, yaitu menyampaikan 5 cerita tentang binatang. Cerita – cerita itu mengandung kiasan dan ibarat terhadap kehidupan manusia.

Lama – kelamaan sadarlah putra – putra raja itu, sehingga kelakuan mereka berubah menjadi baik, rajin, dan cerdik.

Kelima cerita yang disampaikan itu ialah :

a. Tentang orang yang memutuskan persahabatan

Lembu Sanjiwaka yang patah kaki tertinggal dalam hutan. Setelah sembuh ia bersahabat dengan seekor singa bernama Pinggalaka. Serigala mulanya mendukung persahabatan itu. Tapi kemudian menghasut persahabatan itu. Akhirnya kedua binatang itu berkelahi habis – habisan sampai keduanya tewas.

Dalam bagian cerita ini diselipkan hal – hal mengenai ketatanegaraan, politik, dan pemerintahan.

b. Tentang orang yang mencari persahabatan

Yang lemah dapat menjadi yang kuat dan dapat mengalahkan yang kuat, jika bersatu.

Beberapa ekor burung kena jerat. Kemudian datang seekor tikus sahabat burung memutuskan jerat itu. Burung – burung itu sepakat untuk terbang bersama – sama mengangkat jerat itu, sehingga terhindarlah mereka dari kejaran pemburu.

Seekor burung gagak melihat kejadian itu, ia mengerti ibaratnya, lalu ikut bersahabat pula. Kemmudian ikut pula bersahabat seekor libi – labi dan seekor rusa. Tatkala rusa kena jerat, datanglah sahabatnya memutuskan jerat dan melepaskan rusa itu. (Cerita – cerita ini mengandung unsur didaktik).

Blogger Templates by Blog Forum