POSMODERNISME

Posmodernisme (pasca modernisme) atau yang sering disebut juga dengan PoMo adalahmenentang gerakan modernisme dan filsafat – filsafatnya serta kecenderungannya ke arah keanekaragaman, kelimpahan, dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya yang satu sama lain tidak saling berhubungan, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, pendangkalan makna kebudayaan dan sebagai gambaran dari fenomena budaya dalam ruang lingkup dan aspek yang lebih luas. gerakan kebudayaan yang

Posmodernisme sebagai suatu gerakan intelektual / kultural yang kontroversial dan merupakan campuran dari keberagaman aliran pemikiran, tradisi, dan masa lalu yang didasari oleh keraguan akan kemampuan modernisme dalam mewujudkan janji – janjinya yaitu masyarakat ilmiah yang adil dan makmur berdasarkan sains telah menjadi suatu fenomena baru yang kemunculannya ibarat sebuah ledakan yang mengaagumkan sekaligus membuat bingung dan cemas.

Posmodernitas dipengaruhi oleh pandangan para filsuf, seperti :

· Friedrich Nietzsche

· Martin Heidegger

· Ludwig Wittgenstein

· John Dewey

· Jacques Derrida

· Richard Rorty

Para pemikir tersebut merasa skeptis terhadap pandangan modernitas bahwa teori dapat mencerminkan realitas. Karena itulah mereka lebih berhati – hati dalam memahami kebenaran serta pengetahuan dengan menekankan bahwa :

- ‘fakta – fakta’ sebenarnya hanyalah ‘tafsiran – tafsiran’

- kebenaran tidaklah mutlak tetapi hanyalah rekaan manusia atau kelompok manusia

- semua pengetahuan diperantarai oleh bahasa dan budaya.

Bila kaum Modernis percaya bahwa mereka dapat menemukan landasan – landasan kebenaran yang menyatu dan bertautan maknanya, yang secara universal benar dan dapat diterima, maka kaum Posmodernis mengakui keterbatasan pandangan – pandangan, fragmentasi, dan ketidakpastian. Kaum Posmodernis juga menolak paham kaum Modernis bahwa individu manusia adalah ‘mahkluk rasional yang menyatu’ seperti pada :

a. Diktum Descartes (Modernitas) : “ Saya berpikir, jadi saya ada “

b. Jean Paul Sartre : “ Individu manusia adalah bebas dan tidak ditentukan, menempatkan individu manusia pada pusat alam semesta. “

Sebaliknya, kaum Posmodernis tidak menempatkan individu manusia di pusat alam semesta dan mengklaim bahwa ‘diri manusia’ hanyalah efek bahasa, hubungan sosial, dan keadaan tidak sadar.

Strukturalisme dan Pos-strukturalisme telah membari sumbangan terhadap Posmodernitas. Strukturalisme muncul di Prancis setelah Perang Dunia II dan dipengaruhi oleh teori semiotika dari ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Kaum Strukturalis mencoba menjelaskan fenomena dengan cara mengidentifikasi sitem – sistem tersembunyi (sebagai sebuah sistem tanda yang terdiri atas penanda dan petanda). Sedangkan kaum Pos-strukturalis menggunakan strategi – strategi historis untuk menjelaskan bagaimana kesadaran, tanda – tanda, dan masyarakat – masyarakat secara historis serta geografis memiliki ‘ketergantungan’. Kaum Pos-strukturalis juga menghapus batas – baatas antara filsafat, teori sastra, dan teori sosial. Baik kaum Strukturalis maupun kaum Pos-strukturalis menolak pandangan ‘subjek otonom’, menekankan bahwa tidak seorangpun hidup di luar sejarah. Mereka menekankan bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat adlah sewenang – wenang dan secara konvensional merupakan hasil kesepakatan, tidak natural. Kaum Posmodernis dipengaruhi oleh berbagai proyek pemikiran semiotika.

Terdapat hubungan antara Hipersemiotika dengan Posmodernisme. Hipersemiotika merupakan sebuah kecenderungan yang melampaui semiotika konvensional (khususnya semiotika struktural), yang beroperasi dalam sebuah kebudayaan yang di dalamnya dusta, kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, imanensi, permainan, artifisialitaas, superlativitas yang didaulat sebagai spirit utamanya dan menolak kebenaran, otentisitas, kedalaman, transendensi, serta metafisika sebagai penghambat kreativitas dan produktivitas budaya.

Posmodernisme sendiri merupakan sebuah kecenderungan seni, sastra, arsitektur, media, dan budaya pada umumnya, yang merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta membiaknya dengan tanpa batas dan pembatas berbagai bentuk hyper-sign di atas.

Posmodernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika, yang di dalamnya hyper-sign dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya komiditi dan budaya konsumerisme kapitalisme.

Budaya konsumerisme merupakan jantung dari kapitalisme di mana di dalamnya terdapat berbagai dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi melalui strategi hipersemiotika dan imagologi yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media, dsb) sebagai kekuatan tanda kapitalisme. Sehingga, pada akhirnya terbentuklah kesadaran diri yang sesungguhnya adalah palsu. Kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana posmodernisme seperti dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film, dan berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas.

Posmodernisme dalam seni dan desain sering dianggap menggantikan Modernisme, tetapi Modernisme tidaklah mati. Dewasa ini, karya – karya seni dan desain Modernis tetap dibuat oleh sebagian seniman dan pendesain. Sedangkan sebagian seniman dan pendesain yang lain lebih suka membuat seni dan desain Posmodernis. Seni dan desain Posmodernis berbeda dengan seni dan desain Modernis, namun unsur – unsur seni dan desain Posmodernis sebagian berasal dari unsur – unsur seni dan desain Modernis.

Kaum Posmodernis percaya bahwa penekanan Marx terhadap kekuatan hubungan – hubungan ekonomi terlalu dogmatik. Mereka juga menyadari keterbatasan penjelasan tentang perkembangan sejarah dan sosial, dan mencoba mengidentifikasi berbagai bentuk kekuasaan dan dominasi. Di arena politik, kaum Posmodernis menganggap Marxisme kuno dan menindas serta tidak relevan untuk era Posmodern.


0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum