bertapa

akyu mahu istirahat dulu ach..
bertapa buat nyari objek skripsi yang tepat buat akyu...
doain dunkz biar cepet dapet...
=)

Surat untuk Kekasih

Aku tak pernah paham tentang janji kelingking itu. Sesekali aku menganggapnya sebagai sebuah cita-cita yang kita rajut untuk kita wujudkan bersama suatu hari nanti. Tapi terkadang kegamangan membawaku kembali pada realitas kesadaran, bahwa mungkin janji kelingking itu hanya sebuah proyeksi bayangan dari perasaan kita yang sama-sama kuat. Ya, hanya sebuah proyeksi bayangan.

Aku sadar selama ini kita telah jauh melangkah. Kita melampaui takdir dengan membangun batas pagar untuk diri kita sendiri demi janji kelingking itu. Sayangnya, untuk pondasi saja kita harus sering mengonta-gantinya. Ya, ternyata kita lemah dalam membangun pondasi. Janji kelingking itu mungkin telah kita patri dalam alam bawah sadar kita, sehingga banyak kejanggalan yang kita temukan dalam perjalanan pembuatan batas pagar itu.

Terima kasih untuk mengajariku tentang indahnya arti hidup dan cara mempertahankan hidup itu. Bagiku kau sempurna dalam hidupmu. Kau adalah hidup itu sendiri. Yang diperjuangkan, mengalami kegagalan, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, diperjuangkan lagi, dan terus seperti itu. Ya, kau adalah hidup itu sendiri. Penuh perjuangan dan cinta. Tak pernah mengeluh, padahal nampak jelas garis kelelahan di raut wajahmu.

Sebenarnya, aku masih ingin memeluk lelehan keringat lelahmu. Karena kutahu, aku takkan pernah mendapatimu dalam linangan air mata untuk kuhapus. Namun sekali lagi janji kelingking itu mengabur seperti kabut yang lagi-lagi berurusan dengan cara pandang kita. Dan kini tiba-tiba semua terasa begitu berat bagiku, tak seperti yang telah lalu.

Aku tak mengikhlaskanmu pergi kali ini bukan karena aku takut kau akan merajut janji kelingking dengan yang lain suatu saat nanti. Tapi karena aku tau kau masih menyimpan darah, keringat, luka, dan mungkin air mata dalam hidupmu. Aku masih ingin menemani perjalananmu menapaki tangga kehidupan hingga kau sampai di puncak kebahagiaan, di mana cita-cita yang pernah kau rajut bersama ibumu tak lagi berbentuk mimpi. Setelah itu, mungkin aku bisa mengikhlaskanmu pergi dari janji kelingking kita.

Tapi kali ini keputusanmu sudah bulat. Terakhir, kau pun berkata padaku :
“Aku akan kuat menjalani semuanya dalam kesendirian. Sejak kecil, aku telah belajar banyak dari kerasnya hidup ini. Suatu saat kau akan mengerti bahwa kau perlu keras terhadap dirimu sendiri. Bila tidak, maka orang lain yang akan keras terhadapmu.”

Aku tak dapat menahanmu lagi. Tersenyumlah, legakan aku yang merasa bersalah padamu. Terima kasih untuk cinta dan ajaran hidup yang kau tunjukkan untukku. Tulus sembah doaku iringi almarhum kedua orangtua dan masa depanmu. Aku akan sangat merindukanmu.

Semarang, 27112008_03:00

Pigura dan Foto

Hari ini, kukembalikan cincin pengikat itu. Pertanda tak ada lagi kisah di antara kita. Aku tahu kau melakukan semuanya karena terluka. Terluka atas diriku yang tak mengerti semua ini, tentang ‘kekosongan’ yang selalu kau dendangkan. Bukan karena sebuah permainan, tetapi lebih pada takdir yang kita lukis sendiri.

Aku percaya saat rahim membendung kita, Tuhan telah menentukan jalan yang akan kita tempuh di depan nanti. Sayangnya, mungkin kita telah sedikit melencengkan arah jalan itu pada masa lalu, hingga kita pun memperbanyak foto perjalanan ini.

Dan sekarang, ketika teguran itu datang, kita hanya bisa sama-sama berharap semua perjalanan yang kita rekam dalam foto-foto itu hanyalah sebuah mimpi yang singgah dalam tidur malam kita.

Dan esok, ketika kita sama-sama bertemu dengan embun dan terbangun dari tidur yang telah mengejawantahkan banyak makna hidup dan cinta ini, kita akan mendapati diri kita tersenyum, tanpa merasakan adanya beban bila kenangan perjalanan itu datang kembali dan menjelma sebagai sosok anggun yang dapat melemahkan hati kita kembali.

Ya, mungkin sebentar lagi mimpi-mimpi perjalanan itu akan terbingkai dalam pigura foto di relung-relung hati kita. Kapanpun kita dapat memandangnya dengan berbagai perasaan yang mungkin membawa kita pada angin-angin yang telah terbawa kabut tak tentu arah, namun takkan pernah bisa mengabur dari hidung kita.

Mungkin pada akhirnya semua hanya akan nampak sebagai foto yang terpajang, yang merekam masa lalu kita, yang hanya dapat kita peluk sebatas pigura. Pigura yang tak bernyawa, tak bergerak, namun menghidupkan yang telah mati dalam kenangan.

Mungkin kau benar, kita hanya perlu menyimpan foto itu di sebuah bingkai pigura yang indah. Aku hargai pendapatmu. Tapi, tak semudah itu menempelkan foto yang selama empat tahun ini bernafas, ke dalam bingkai pigura. Karena itu berarti mati.

Aku sadar suatu hari mungkin keusangan foto itu akan membawa tusukan pada jantung-jantung kita yang terlanjur menghitam. Namun, kita juga tak pernah tahu seandainya di depan nanti, Tuhan mengembalikan jalan yang sempat kita usik pada arah yang ditakdirkan. Dan ketika waktu itu datang, kuharap kita akan menemukan takdir kita masing-masing.

27112008_20.03

Sepi lan Rame ing Bawana

Kaping lima tapaning suksma puniku
Gelara marta-martani
Lega legawa ing kalbu
Aja munasikeng janmi
Amoga atining wong
(R. Ng. Ranggawarsita : Serat Soponalya)

Wejangan berupa tapa suksma dari seorang pujangga keraton Solo itu mengingatkan kita bahwa etika kebijaksanaan hidup dalam masyarakat Jawa kini condong pada perpecahan, sehingga masyarakat pun tidak dapat menemukan lagi jati dirinya secara utuh.

Seorang ayah dari kalangan pemulung,
sambil menitikkan air mata,
menggendong mayat anak lima bulannya,
mengelilingi kota Jakarta seharian
untuk mencari welas asih
agar mendapat lahan gratis satu kali dua meter
untuk mengubur jasad buah hatinya

Sepi ing pamrih,
Keadaan benar-benar menjadi sepi karena tak tertanam lagi sikap
lembah manah (rendah hati) pada masyarakat yang mendorong adanya keinginan untuk peduli pada penderitaan orang lain.
Bagaimana orang bisa berpamrih, kalau keinginan untuk peduli dan menolong saja tidak ada?

Seorang ibu rumah tangga di Lamongan meracuni ketiga anaknya
karena tidak sanggup melihat buah hatinya kelaparan
di antara tembok-tembok rumah mewah

Sepi ing pamrih,
Sosialisasi dalam masyarakat akan sikap
tepo seliro yang selalu diagungkan dalam konsep etika masyarakat Jawa kini hanya tinggal simbol dari sebuah keengganan masyarakat dalam memaknai hubungan timbal-balik dalam ranah sosial belaka.
Tak ada lagi sikap penempatan diri sebagai manusia lain, sehingga tak berlaku pula ungkapan “Seandainya saya menjadi orang itu, saya juga tidak mahu mengalami penderitaan seperti itu.”

Seorang pengajar spiritual di Jombang membunuh puluhan orang
secara sadis dengan memotong bagian-bagian tubuh korbannya
demi segenggam harta

Rame ing gawe,
Tak lagi bermakna gotong royong demi kerukunan bersama. Namun,
rame demi gawe (nya) sendiri. Alias egois.
Hanya demi materi orang mampu mengesampingkan nilai-nilai moral sehingga menimbulkan konflik bagi pihak lain.
Rame
dengan berbagai usaha untuk menjalankan gawe (nya) menumpuk materi yang sifatnya fana (sesaat).

Di Monas, sekelompok organisasi melempari sekelompok organisasi lain
dengan batu hingga berdarah,
kemudian secara membabi-buta memukulinya
hingga meninggalkan bekas luka di badan dan di hati

Rame ing gawe,
Benar-benar bersama bahu-membahu dan beramai-ramai memberantas segala yang tidak sepaham dengannya secara anarkis, demi mewujudkan
gawe (nya) menonjolkan diri sebagai ‘yang paling benar’.

Meniru Akio Morita,
Seorang pengusaha sukses asal Bedono, 43 tahun
Mengader calon general manager penerus usahanya
Dengan menikahi gadis belasan tahun secara sirri

Memayu hayuning bawana,
Manusia semakin nekat menghiasi dan memerindah dunia dengan masalah-masalah yang memicu terjadinya konflik dalam masyarakat.
Menghilangkan bentuk-bentuk kewajiban terhadap keturunannya, masyarakat, dan pemerintah.

Penyimpangan-penyimpangan terhadap falsafah etika hidup Jawa sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana akan mengikis nilai-nilai moral yang telah menjadi watak masyarakat Jawa. Jika kedua konsep tersebut telah disalah-artikan oleh sekelompok masyarakat tertentu, maka tugas wajib bagi masyarakat yang lain untuk mengingatkan dan mengembalikannya ke arah yang benar.

Penggerogotan nilai-nilai sosial yang menjadi identitas suatu kolektif menimbulkan hilangnya jati diri kolektif tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka itulah yang akan menjadi tanda-tanda kehancuran suatu tatanan sosial, yang akhirnya bermuara pula pada kehancuran suatu peradaban.

04102008

sobokartti

Sekilas, nampak tak ada yang spesial saat saya duduk di halte daerah Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang. Tak ada rutinitas ataupun suatu hal yang dapat menarik mata untuk melihat ataupun memperhatikannya. Kendaraan berlalu-lalang silih-berganti, seorang pedagang tengah sibuk meladeni pembelinya di warung tenda yang sempit, dan beberapa kendaraan bermotor yang agaknya memiliki masalah dalam hal permesinan memadati bengkel ”Palupi” di seberang jalan. Namun, ketika pandangan saya tertuju pada sebuah papan nama yang terpasang di antara gang masuk yang sempit ---sekitar 2 meter lebarnya --- mata ini langsung menarik kaki saya untuk memasuki kawasan di dalamnya.


PERKUMPULAN KESENIAN ”SOBOKARTTI”

(De Volks Kunst Vereeniging Sobokartti Semarang)

TANAH DAN GEDUNG KESENIAN SOBOKARTTI YANG BERNILAI BUDAYA

SEJARAH BANGSA, DAN NEGARA JL. DR. CIPTO 31 – 33 SEMARANG

TIDAK AKAN DIJUAL KEPADA SIAPAPUN ORANG-ORANGNYA

HARAP MAKLUM

BATAVIA 1929 – SEMARANG


Demikianlah bunyi tulisan yang terpampang pada papan nama tersebut. Tulisan itulah yang menuntut keingintahuan saya untuk menilik lebih jauh apa sebenarnya ”Sobokartti” itu. Dengan langkah penuh kepenasaran, akhirnya saya berjalan memasuki gang sempit itu.

Teduhnya sinar matahari sore membuat seorang bocah lelaki, dengan topi biru yang dikenakannya secara terbalik, bersemangat mengencangkan laju sepedanya untuk mengitari lapangan yang ditumbuhi rumput. Meskipun rumput-rumput yang sebagian telah menguning dan tumbuh sekitar 10-15 cm, mengisyaratkan bahwa kurang adanya perawatan, namun secara keseluruhan kawasan itu nampak asri. Hampir tak terlihat ada sampah berserakan.

Angin yang berhembus tidak terlalu kencang mampu menerbangkan dua layang-layang segi empat di tangan dua lelaki remaja. Seorang bocah berok merah sepaha menyaksikannya di depang warung makan di ujung selatan lapangan yang berpagar tembok-tembok rumah tersebut.

Sementara itu, di sisi barat terdapat sebuah bangunan kuno yang melebar pada sisi depannya. Pintunya terbuat dari kayu bermodel enam lipatan. Pada sisi kanan dan kiri pintu terdapat jendela-jendela teralis bercat putih yang memanjang ke bawah. Secara keseluruhan, bangunan kuno itu berwarna coklat. Kombinasi coklat muda dan coklat tua yang dipadu dengan hijaunya pohon-pohon di sekitarnya membuat kesan harmonis dan selaras dengan alam.

Begitu masuk ke bagian depan bangunan kuno itu, gemuruh suara anak-anak, laki-laki dan perempuan, terdengar riang. Beberapa bermain bekelan di lantai, ada juga yang berlarian tanpa arah yang jelas, dan sebagian lainnya fokus pada permainan karet.

Pada bagian depan bangunan ini hanya ada enam tiang penyangga bangunan yang masih terlihat kokoh. Tak ada meja, kursi, dan perkakas lain sebab memang bukan sebuah ruang tamu. Dari bagian depan ini saya mulai mengerti bahwa bangunan tua tersebut adalah sebuah gedung perkumpulan seni sekaligus gedung pertunjukan. Pada bagian tengahnya nampak berjajar tiga loket untuk membeli karcis pertunjukan, yang sayangnya sudah tidak terpakai lagi kini. Debu tebal menyelimuti permukaan dinding-dindingnya. Di atas jajaran loket tersebut saya melihat lagi sebuah papan yang memampang nama ”Sobokartti”.

Di sebelah kanan dan kiri loket terdapat dua buah pintu masuk. Saya pun memasuki pintu sebelah kanan. Di dalamnya ada sebuah ruangan besar dengan atapnya yang tinggi, yang digunakan sebagai tempat pertunjukan. Di sebelah timur ada sebuah panggung permanen yang menghadap ke barat dan di sisi utara dan selatan bangku-bangku kayu yang panjang berjajar rapi. Di atas jajaran bangku sebelah utara terdapat sebuah tempat yang digunakan untuk berlatih seni pedalangan sekaligus tempat menyimpan perkakas-perkakas pedalangan.

Sobokartti adalah sebuah perkumpulan kesenian rakyat yang aslinya bernama De Volks Kunst Vereeniging Sobokartti Semarang. Sobokartti selain digunakan sebagai nama perkumpulan kesenian di Semarang, ia juga digunakan sebagai nama gedung kesenian itu sendiri. Sobokartti didirikan di Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang pada 5 Oktober 1929, pada jaman Kolonial Belanda oleh para seniman-seniman yang pada waktu itu berdomisili di Semarang. Ir. Thomas Kartsen dari Belanda banyak berpengaruh dalam pembangunan gedung maupun managerial Sobokartti. Sobokartti sengaja didirikan di daerah Dr. Cipto sebab di sanalah para pahlawan perang pertempuran lima hari di Semarang dimakamkan. Jadi selain gedung yang bersejarah, perkumpulan seninya juga bersejarah. Untuk pertama kalinya hingga kini, Sobokartti dipimpin oleh Andaryoko Wisnuprabu yang menjabat sebagai ketua umum dan Soetrisno sebagai sekretaris.

Sobo berarti bermain atau dolan dan karti artinya bekerja. Sobokartti berarti bermain untuk bekerja dan bekerja untuk bermain. Tulisan Sobokartti memang memiliki “t” dobel sebab diambil dari mana Gubernur Belanda pada jaman itu. Nama Sobokartti sendiri diberikan oleh pemerintah setempat pada jaman dahulu.

Meskipun Sobokartti berdiri di Semarang, namun pada perkembangannya juga mendapat dukungan dari Mangkunegaran, Surakarta. Dalam hal latihan, Sobokartti memiliki jadwal rutin yang telah disepakati oleh masing-masing anggotanya. Pada Jumat, pukul 20.00-23.00 WIB diadakan pelatihan karawitan. Sabtu, pukul 15.00-19.00 WIB ada kursus pedalangan. Minggu, pukul 09.00-13.00 WIB diadakan pelatihan pranata cara, dan pada hari Minggu pukul 13.00-17.30 WIB ialah jatah latihan untuk karawitan para ibu. Pada pelatihan seni tari Jawa, telah dibagi dalam beberapa kelas. Kelas anak-anak, kelas dewasa, dan juga kursus guru tari.

Pada jaman dahulu, Sobokartti memang sangat terkenal. Bahkan ada stigma yang berkembang di kalangan seniman bahwa seseorang belum sah dinobatkan sebagai seniman dan memiliki ketenaran sebelum ia pentas di Sobokartti, sebab Sobokartti dianggap sebagai perkumpulan kesenian nomor satu di antara perkumpulan-perkumpulan kesenian lainnya di Jawa Tengah.

Awalnya, Sobokartti adalah merupakan suatu sanggar yang menyajikan seni tari Jawa klasik gaya Surakarta untuk ditawarkan bagi masyarakat. Namun, pada perkembangannya Sobokartti juga menawarkan pelatihan karawitan, pelatihan pedalangan, serta pembatikan gaya Semarangan untuk mempertahankan kelangsungan Sobokartti sendiri.

Sebagaimana sanggar-sanggar kesenian pada umumnya, Sobokartti juga memiliki beberapa kendala yang menyebabkannya terpinggirkan oleh jaman. Beberapa masalah tersebut antara lain : masalah pendanaan, minat masyarakat sendiri yang semakin rendah untuk melestarikan budaya Jawa, makin beragamnya cara orang berlatih tari dan kesenian Jawa lain, serta makin menjamurnya sanggar-sanggar tari modern yang lebih diminati kaum muda.

Pertama, dalam hal pendanaan, Sobokartti merupakan sebuah perkumpulan yang benar-benar hanya mengandalkan iuran anggota atau siswa. Jadi, dalam hal pengembangannya sendiri pun Sobokartti mengalami jatuh bangun dari kesulitan.

Masalah kedua ialah kurangnya minat dari masyarakat sendiri untuk melestarikan kesenian Jawa. Mereka umumnya telah terpengaruh oleh arus globalisasi yang lebih cenderung berpihak pada modernitas serta mencibir nilai kekunoan dari sebuah bentuk kesenian. Pada masa jayanya, para siswa Sobokartti dapat mencapai ratusan (hingga tiga ratusan siswa).

Ketiga, di Semarang guru tari telah banyak lahir. Di sekolah-sekolah dasar misalnya, anak-anak sudah diajarkan seni tari. Banyak lulusan UNNES yang telah menjadi guru tari atau mengajar ekstrakulikuler tari di sekolah-sekolah, sehingga anak-anak tersebut tidak perlu lagi datang ke sanggar untuk berlatih tari. Mereka cukup latihan tari di sekolahan.

Keempat, makin banyaknya sanggar-sanggar kesenian yang lahir di Semarang membuat persaingan semakin ketat. Bahkan, Sobokartti yang dahulu sangat dipuja dan dinomorsatukan kini bagaikan ampas tebu yang ditinggalkan begitu saja seolah tak ada manfaatnya lagi. Sanggar tari modern nampaknya lebih diminati masyarakat karena dianggap lebih menjajikan dalam hal komersialisasinya.

Jatuh bangun mempertahankan Sobokartti telah dirasakan pada generasi penerusnya, sehingga beberapa cara ditempuh untuk mengusahakan tetap berdirinya perkumpulan kesenian itu. Ketika kepemimpinan Totok Pamungkas, pihaknya mengadakan kerjasama dengan kantor-kantor kecamatan serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyebarkan brosur-brosur, terutama pada saat penerimaan siswa baru. Selain itu, pada tiap kesempatan pentas, para murid Sobokartti dihimbau untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari perkumpulan kesenian Soboartti. Dengan melihat pentas mereka, diharapkan masyarakat akan memiliki ketertarikan dan ujung-ujungnya akan mencoba berlatih di Sobokartti. Langkah lainnya ialah mencoba bekerjasama dengan TVRI untuk menayangkan pementasan mereka. Namun, karena sekarang di layar kaca sudah tidak ada kapling untuk pementasan kesenian tradisional, maka kini lebih sulit mengembangkannya. Hal ini dikarenakan oleh minimumnya animo masyarakat yang telah tergeser oleh budaya asing.

Usaha dalam hal kekreatifitasan diupayakan melalui cara pemadatan waktu dalam hal pedalangan, yakni ketika pementasan wayang. Cerita wayang yang mulanya lima jam diringkas menjadi satu jam dengan cerita yang padat dan isinya mendidik Tujuannya agar masyarakat yang menonton tidak terlalu jenuh karena ceritanya yang padat.

Untuk seni tari sendiri, pihak Sobokartti telah mengusahakan tidak hanya menawarkan tari klasik. Namun, ada juga penawaran untuk tari kreasi, tari garapan, serta pengajaran tari-tari tradisional dari luar daerah (Sunda, Jawa Timur, Bali).

Perhatian dari pemerintah setempat memang ada, namun bantuan yang diberikan berupa dana terlalu kecil untuk mengembangkan Sobokartti. Dalam skala satu tahun, Sobokartti hanya mendapat bantuan sebesar Rp 2.000.000,00. Biasanya dana tersebut dimanfaatkan untuk merenovasi gedung. Masalahnya, di Semarang terdapat sekitar hampir 300 grup kesenian yang juga mendapat sumbangan dari pemerintah dengan sistem bergilir. Jadi, belum tentu setiap tahun Sobokartti mendapat giliran subsidi dana tersebut. Seandainya Sobokartti tidak membuat proposal, maka akan sangat mungkin bantuan itu tidak akan diterimanya.

Dari sekian kesenian yang dimiliki dan ditawarkan Sobokartti, karawitan adalah salah satu penyumbang terbaik dan terbanyak yang mengharumkan nama Sobokartti. Beberapa penghargaan yang pernah diraih lewat seni karawitan di bawah asuhan Soetrisno antara lain :

  1. Tahun 1988-1989 Juara Harapan IV Lomba Karawitan Wilayah RRI Semarang

  2. Tahun 1988-1989 Juara II Karawitan Pria Wilayah RRI Semarang

  3. Tahun 1987-1987 Juara I Karawitan Pria Wilayah RRI Semarang

  4. Tahun 1990-1991 Juara Harapan I Lomba Karawitan Wilayah RRI Semarang


Karawitan sendiri ialah sebuah seni gamelan dan seni suara yang bertangga nada slendro dan pelog. Personilnya terdiri atas sekitar dua puluh empat Waranggono (pengambil suara perempuan), pesinden, dan pengrawit (penabuh kendang, gender, rebab, damung, saron gambang, beking, gong, kempul, kenong, rebab maupun siter).

Nyanyian yang mengiringi karawitan terdiri atas bermacam-macam gending. Gending-gending itu mencakup gending wancaran, ketawang, ladrang, gambir sawit, pangkur, kutut manggung,dll.

Perkembangan karawitan di Sobokartti sekarang diperkirakan sudah mulai maju pesat kembali sebab latihan semakin sering dilakukan dengan personil yang semakin beragam. Bahkan, pada hari Jumat telah ada latihan dari kerjasama dengan IKIP PGRI.

Anggota pemain karawitan cukup beragam, mulai dari pensiunan PNS, sarjana, SPG, PGRI, hingga masyarakat biasa baik yang telah mengerti seni itu secara baik maupun yang sedang belajar dari nol.


Salah satu motto yang dipegang Sobokartti ialah tidak akan ada penjualan atas gedung Sobokartti, apapun masalah yang melatarbelakanginya. Ia adalah sebuah perkumpulan yang independen, keberlangsungannya tidak berdiri atas kepentingan sekelompok golongan, seperti partai politik misalnya. Pada jaman Golkar berjaya, Sobokartti pernah diajak untuk masuk dalam jajarannya. Namun, Sobokartti menolak karena ia hanya mahu menerima bantuan dalam hal apapun atas nama pribadi, bukan kepentingan partai atau untuk hal politik.

Tak dapat disangkal lagi bahwa suatu kesakralan, pada perkembangan jaman mampu menjadi korban dalam komersialisasi industri. Seperti yang dialami Sobokartti dalam dekade terakhir. Kesenian tradisional menjadi sesuatu yang eksklusif dan mahal di mata masyarakat. Masalah sebenarnya ialah minimnya orang yang mengetahui kesenian tradisional itu menyebabkan mahalnya harga yang harus dibayar saat mereka ditanggap untuk mementaskan keahliannya.

UPACARA

Dengar seluruh angkasa raya memuji pahlawan negara

............................................

Harkat, jasa, kau cahya pelita bagi Indonesia merdeka


Bayangan raut kebanggaan Sukardi, almarhum kakekku tiba-tiba berkelebat di pikiran pagi ini. Masih tergambar jelas di benakku setiap dua kali dalam setahun, beliau dengan daya imajinasi dan kata-katanya mampu menyihir seisi rumah untuk kembali merasakan masa perjuangannya di jaman penjajahan Jepang.


Ayo, persiapkan diri buat upacara besok.” Katanya tiap malam menjelang Tujuh Belas Agustus dan Sepuluh November, seolah tak sabar untuk menunggu kemunculan mentari esok pagi.


Pernah suatu hari, saat aku duduk di bangku SMP, aku memergoki beliau menangis tengah malam di sudut dapur. Aku tak tahu apa yang menjadi penyebabnya.


Keesokan harinya, beliau sudah berdandan rapi sejak subuh tiba, mengenakan seragam veterannya, lengkap dengan topi dan tanda bintang emas serta emblem-emblem lusuh yang dilekatkannya di baju hijau tua itu. Kemudian, beliau membangunkan seisi rumah untuk segera mempersiapkan diri mengikuti upacara di lapangan desa.


Setelah itu, dengan jalannya yang tertatih karena kerentaan usianya, ia menuju gapura Junggul, Bandungan dengan ditemani sebuah tongkat kayu yang menopang tubuhnya. Di gapura itu, ia menunggu teman-teman seperjuangannya dengan penuh semangat yang menyala-nyala.


Lalu, mulai berdatanganlah para jompo yang juga mengenakan seragam veteran. Kebanyakan, mereka datang dari Piyoto dan Gintungan. Tak seperti kakekku, mereka terlebih dahulu harus menempuh berkilometer jalanan becek dan berbatu untuk berkumpul di gapura Junggul. Begitu sampai, mereka dengan gagah langsung memberi salam hormat pada kakek, beliau pun membalasnya dan mereka saling berpelukan.


Naik apa tadi?” tanya kakek pada salah satu temannya dari Piyoto.

Jalan kaki.”


Mendekati pukul tujuh mereka mengeluarkan iuran dan segera menyewa angkot menuju lapangan Turangga Seta Ambarawa (waktu itu Junggul masuk bagian kecamatan Ambarawa). Mereka pun dengan bangga membentuk barisan rapi dan mengikuti jalannya upacara dengan khidmat.


Saat pembina upacara menyampaikan amanatnya, kakek dan beberapa kawan seperjuangannya hampir menitikkan air mata.

Sebagai generasi muda, kita harus mengingat dan menghargai jasa para pahlawan dengan meneruskan perjuangannya.” kata pembina itu.


Usai upacara berakhir, kakek dan teman-temannya kembali mengeluarkan iuran untuk perjalanan pulang. Hingga kini, aku pun masih ingat setiap kakek sampai di rumah, semangatnya yang berkobar tak lagi terlihat seperti sehari sebelum upacara dimulai. Wajahnya kuyu dan letih.


Kini, saat aku duduk di bangku kuliah barulah aku tahu dan mengerti makna tangisan dan wajah kuyu kakek tempo hari. Ternyata, kebanggaannya sebagai pejuang kemerdekaan dinodai oleh keperihan hatinya atas perlakuan pemerintah pada anggota veteran.


Ia merasakan ada sebuah rasa ngilu yang menusuk hingga dasar hatinya. Dalam diamnya, ia menangis dan merasakan ada borok yang semakin menggerogoti kekecewaannya.


Ia tak pernah menuntut untuk dihormati. Tapi, ketika mengingat perjuangan dan pengorbanan nyawa para teman seperjuangannya dahulu, ia hanya bisa berharap pemerintah lebih dapat memperhatikan nasib para pensiunan veteran, sebab nasib mereka usai kemerdekaan ternyata tak lebih baik dari jaman penjajahan. Hidupnya tetap tak terjamin. Bahkan, untuk sekedar mengikuti upacara setiap Tujuh Belas Agustus dan Sepuluh November pun, mereka harus patungan terlebih dahulu untuk menyewa angkutan umum.


Bangsa yang sukses dan bermartabat adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Menghargai sejarah berarti menghargai seluruh aspek yang bersinggungan dengannya. Menghargai para pahlawan yang telah gugur dapat kita lakukan dengan mendoakan dan meneruskan cita-cita mereka agar rakyat Indonesia tetap menjaga persatuannya. Sedangkan bagi para pahlawan yang masih hidup, hendaknya kita memperhatikan kehidupannya saat ini. Jangan sampai setelah negeri ini merdeka, mereka tidak mendapatkan kemerdekaan batin dan merasa lebih menderita dibandingkan masa pendudukan penjajah pra-kemerdekaan.


09102008

CURHAT

hikz.....hikz.....
mendekati lebaran kemarin aku sakit ati....
semua cerpen2Q dari SMA-kuliah ilang.....
gak nyisa 1 pun...
nyeselnya gak aku back up dulu...
padahal baru aja aku mau masukin ke blog ini...
hikz...hikz...
buat semua, ati2 ya kalo punya karya,,,,,
cepet2 dipublikasiin dan di back up sebanyak2nya biar gak da lagi yang ngalamin pnyesalan kayak aku....

Blogger Templates by Blog Forum