sobokartti

Sekilas, nampak tak ada yang spesial saat saya duduk di halte daerah Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang. Tak ada rutinitas ataupun suatu hal yang dapat menarik mata untuk melihat ataupun memperhatikannya. Kendaraan berlalu-lalang silih-berganti, seorang pedagang tengah sibuk meladeni pembelinya di warung tenda yang sempit, dan beberapa kendaraan bermotor yang agaknya memiliki masalah dalam hal permesinan memadati bengkel ”Palupi” di seberang jalan. Namun, ketika pandangan saya tertuju pada sebuah papan nama yang terpasang di antara gang masuk yang sempit ---sekitar 2 meter lebarnya --- mata ini langsung menarik kaki saya untuk memasuki kawasan di dalamnya.


PERKUMPULAN KESENIAN ”SOBOKARTTI”

(De Volks Kunst Vereeniging Sobokartti Semarang)

TANAH DAN GEDUNG KESENIAN SOBOKARTTI YANG BERNILAI BUDAYA

SEJARAH BANGSA, DAN NEGARA JL. DR. CIPTO 31 – 33 SEMARANG

TIDAK AKAN DIJUAL KEPADA SIAPAPUN ORANG-ORANGNYA

HARAP MAKLUM

BATAVIA 1929 – SEMARANG


Demikianlah bunyi tulisan yang terpampang pada papan nama tersebut. Tulisan itulah yang menuntut keingintahuan saya untuk menilik lebih jauh apa sebenarnya ”Sobokartti” itu. Dengan langkah penuh kepenasaran, akhirnya saya berjalan memasuki gang sempit itu.

Teduhnya sinar matahari sore membuat seorang bocah lelaki, dengan topi biru yang dikenakannya secara terbalik, bersemangat mengencangkan laju sepedanya untuk mengitari lapangan yang ditumbuhi rumput. Meskipun rumput-rumput yang sebagian telah menguning dan tumbuh sekitar 10-15 cm, mengisyaratkan bahwa kurang adanya perawatan, namun secara keseluruhan kawasan itu nampak asri. Hampir tak terlihat ada sampah berserakan.

Angin yang berhembus tidak terlalu kencang mampu menerbangkan dua layang-layang segi empat di tangan dua lelaki remaja. Seorang bocah berok merah sepaha menyaksikannya di depang warung makan di ujung selatan lapangan yang berpagar tembok-tembok rumah tersebut.

Sementara itu, di sisi barat terdapat sebuah bangunan kuno yang melebar pada sisi depannya. Pintunya terbuat dari kayu bermodel enam lipatan. Pada sisi kanan dan kiri pintu terdapat jendela-jendela teralis bercat putih yang memanjang ke bawah. Secara keseluruhan, bangunan kuno itu berwarna coklat. Kombinasi coklat muda dan coklat tua yang dipadu dengan hijaunya pohon-pohon di sekitarnya membuat kesan harmonis dan selaras dengan alam.

Begitu masuk ke bagian depan bangunan kuno itu, gemuruh suara anak-anak, laki-laki dan perempuan, terdengar riang. Beberapa bermain bekelan di lantai, ada juga yang berlarian tanpa arah yang jelas, dan sebagian lainnya fokus pada permainan karet.

Pada bagian depan bangunan ini hanya ada enam tiang penyangga bangunan yang masih terlihat kokoh. Tak ada meja, kursi, dan perkakas lain sebab memang bukan sebuah ruang tamu. Dari bagian depan ini saya mulai mengerti bahwa bangunan tua tersebut adalah sebuah gedung perkumpulan seni sekaligus gedung pertunjukan. Pada bagian tengahnya nampak berjajar tiga loket untuk membeli karcis pertunjukan, yang sayangnya sudah tidak terpakai lagi kini. Debu tebal menyelimuti permukaan dinding-dindingnya. Di atas jajaran loket tersebut saya melihat lagi sebuah papan yang memampang nama ”Sobokartti”.

Di sebelah kanan dan kiri loket terdapat dua buah pintu masuk. Saya pun memasuki pintu sebelah kanan. Di dalamnya ada sebuah ruangan besar dengan atapnya yang tinggi, yang digunakan sebagai tempat pertunjukan. Di sebelah timur ada sebuah panggung permanen yang menghadap ke barat dan di sisi utara dan selatan bangku-bangku kayu yang panjang berjajar rapi. Di atas jajaran bangku sebelah utara terdapat sebuah tempat yang digunakan untuk berlatih seni pedalangan sekaligus tempat menyimpan perkakas-perkakas pedalangan.

Sobokartti adalah sebuah perkumpulan kesenian rakyat yang aslinya bernama De Volks Kunst Vereeniging Sobokartti Semarang. Sobokartti selain digunakan sebagai nama perkumpulan kesenian di Semarang, ia juga digunakan sebagai nama gedung kesenian itu sendiri. Sobokartti didirikan di Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang pada 5 Oktober 1929, pada jaman Kolonial Belanda oleh para seniman-seniman yang pada waktu itu berdomisili di Semarang. Ir. Thomas Kartsen dari Belanda banyak berpengaruh dalam pembangunan gedung maupun managerial Sobokartti. Sobokartti sengaja didirikan di daerah Dr. Cipto sebab di sanalah para pahlawan perang pertempuran lima hari di Semarang dimakamkan. Jadi selain gedung yang bersejarah, perkumpulan seninya juga bersejarah. Untuk pertama kalinya hingga kini, Sobokartti dipimpin oleh Andaryoko Wisnuprabu yang menjabat sebagai ketua umum dan Soetrisno sebagai sekretaris.

Sobo berarti bermain atau dolan dan karti artinya bekerja. Sobokartti berarti bermain untuk bekerja dan bekerja untuk bermain. Tulisan Sobokartti memang memiliki “t” dobel sebab diambil dari mana Gubernur Belanda pada jaman itu. Nama Sobokartti sendiri diberikan oleh pemerintah setempat pada jaman dahulu.

Meskipun Sobokartti berdiri di Semarang, namun pada perkembangannya juga mendapat dukungan dari Mangkunegaran, Surakarta. Dalam hal latihan, Sobokartti memiliki jadwal rutin yang telah disepakati oleh masing-masing anggotanya. Pada Jumat, pukul 20.00-23.00 WIB diadakan pelatihan karawitan. Sabtu, pukul 15.00-19.00 WIB ada kursus pedalangan. Minggu, pukul 09.00-13.00 WIB diadakan pelatihan pranata cara, dan pada hari Minggu pukul 13.00-17.30 WIB ialah jatah latihan untuk karawitan para ibu. Pada pelatihan seni tari Jawa, telah dibagi dalam beberapa kelas. Kelas anak-anak, kelas dewasa, dan juga kursus guru tari.

Pada jaman dahulu, Sobokartti memang sangat terkenal. Bahkan ada stigma yang berkembang di kalangan seniman bahwa seseorang belum sah dinobatkan sebagai seniman dan memiliki ketenaran sebelum ia pentas di Sobokartti, sebab Sobokartti dianggap sebagai perkumpulan kesenian nomor satu di antara perkumpulan-perkumpulan kesenian lainnya di Jawa Tengah.

Awalnya, Sobokartti adalah merupakan suatu sanggar yang menyajikan seni tari Jawa klasik gaya Surakarta untuk ditawarkan bagi masyarakat. Namun, pada perkembangannya Sobokartti juga menawarkan pelatihan karawitan, pelatihan pedalangan, serta pembatikan gaya Semarangan untuk mempertahankan kelangsungan Sobokartti sendiri.

Sebagaimana sanggar-sanggar kesenian pada umumnya, Sobokartti juga memiliki beberapa kendala yang menyebabkannya terpinggirkan oleh jaman. Beberapa masalah tersebut antara lain : masalah pendanaan, minat masyarakat sendiri yang semakin rendah untuk melestarikan budaya Jawa, makin beragamnya cara orang berlatih tari dan kesenian Jawa lain, serta makin menjamurnya sanggar-sanggar tari modern yang lebih diminati kaum muda.

Pertama, dalam hal pendanaan, Sobokartti merupakan sebuah perkumpulan yang benar-benar hanya mengandalkan iuran anggota atau siswa. Jadi, dalam hal pengembangannya sendiri pun Sobokartti mengalami jatuh bangun dari kesulitan.

Masalah kedua ialah kurangnya minat dari masyarakat sendiri untuk melestarikan kesenian Jawa. Mereka umumnya telah terpengaruh oleh arus globalisasi yang lebih cenderung berpihak pada modernitas serta mencibir nilai kekunoan dari sebuah bentuk kesenian. Pada masa jayanya, para siswa Sobokartti dapat mencapai ratusan (hingga tiga ratusan siswa).

Ketiga, di Semarang guru tari telah banyak lahir. Di sekolah-sekolah dasar misalnya, anak-anak sudah diajarkan seni tari. Banyak lulusan UNNES yang telah menjadi guru tari atau mengajar ekstrakulikuler tari di sekolah-sekolah, sehingga anak-anak tersebut tidak perlu lagi datang ke sanggar untuk berlatih tari. Mereka cukup latihan tari di sekolahan.

Keempat, makin banyaknya sanggar-sanggar kesenian yang lahir di Semarang membuat persaingan semakin ketat. Bahkan, Sobokartti yang dahulu sangat dipuja dan dinomorsatukan kini bagaikan ampas tebu yang ditinggalkan begitu saja seolah tak ada manfaatnya lagi. Sanggar tari modern nampaknya lebih diminati masyarakat karena dianggap lebih menjajikan dalam hal komersialisasinya.

Jatuh bangun mempertahankan Sobokartti telah dirasakan pada generasi penerusnya, sehingga beberapa cara ditempuh untuk mengusahakan tetap berdirinya perkumpulan kesenian itu. Ketika kepemimpinan Totok Pamungkas, pihaknya mengadakan kerjasama dengan kantor-kantor kecamatan serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyebarkan brosur-brosur, terutama pada saat penerimaan siswa baru. Selain itu, pada tiap kesempatan pentas, para murid Sobokartti dihimbau untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari perkumpulan kesenian Soboartti. Dengan melihat pentas mereka, diharapkan masyarakat akan memiliki ketertarikan dan ujung-ujungnya akan mencoba berlatih di Sobokartti. Langkah lainnya ialah mencoba bekerjasama dengan TVRI untuk menayangkan pementasan mereka. Namun, karena sekarang di layar kaca sudah tidak ada kapling untuk pementasan kesenian tradisional, maka kini lebih sulit mengembangkannya. Hal ini dikarenakan oleh minimumnya animo masyarakat yang telah tergeser oleh budaya asing.

Usaha dalam hal kekreatifitasan diupayakan melalui cara pemadatan waktu dalam hal pedalangan, yakni ketika pementasan wayang. Cerita wayang yang mulanya lima jam diringkas menjadi satu jam dengan cerita yang padat dan isinya mendidik Tujuannya agar masyarakat yang menonton tidak terlalu jenuh karena ceritanya yang padat.

Untuk seni tari sendiri, pihak Sobokartti telah mengusahakan tidak hanya menawarkan tari klasik. Namun, ada juga penawaran untuk tari kreasi, tari garapan, serta pengajaran tari-tari tradisional dari luar daerah (Sunda, Jawa Timur, Bali).

Perhatian dari pemerintah setempat memang ada, namun bantuan yang diberikan berupa dana terlalu kecil untuk mengembangkan Sobokartti. Dalam skala satu tahun, Sobokartti hanya mendapat bantuan sebesar Rp 2.000.000,00. Biasanya dana tersebut dimanfaatkan untuk merenovasi gedung. Masalahnya, di Semarang terdapat sekitar hampir 300 grup kesenian yang juga mendapat sumbangan dari pemerintah dengan sistem bergilir. Jadi, belum tentu setiap tahun Sobokartti mendapat giliran subsidi dana tersebut. Seandainya Sobokartti tidak membuat proposal, maka akan sangat mungkin bantuan itu tidak akan diterimanya.

Dari sekian kesenian yang dimiliki dan ditawarkan Sobokartti, karawitan adalah salah satu penyumbang terbaik dan terbanyak yang mengharumkan nama Sobokartti. Beberapa penghargaan yang pernah diraih lewat seni karawitan di bawah asuhan Soetrisno antara lain :

  1. Tahun 1988-1989 Juara Harapan IV Lomba Karawitan Wilayah RRI Semarang

  2. Tahun 1988-1989 Juara II Karawitan Pria Wilayah RRI Semarang

  3. Tahun 1987-1987 Juara I Karawitan Pria Wilayah RRI Semarang

  4. Tahun 1990-1991 Juara Harapan I Lomba Karawitan Wilayah RRI Semarang


Karawitan sendiri ialah sebuah seni gamelan dan seni suara yang bertangga nada slendro dan pelog. Personilnya terdiri atas sekitar dua puluh empat Waranggono (pengambil suara perempuan), pesinden, dan pengrawit (penabuh kendang, gender, rebab, damung, saron gambang, beking, gong, kempul, kenong, rebab maupun siter).

Nyanyian yang mengiringi karawitan terdiri atas bermacam-macam gending. Gending-gending itu mencakup gending wancaran, ketawang, ladrang, gambir sawit, pangkur, kutut manggung,dll.

Perkembangan karawitan di Sobokartti sekarang diperkirakan sudah mulai maju pesat kembali sebab latihan semakin sering dilakukan dengan personil yang semakin beragam. Bahkan, pada hari Jumat telah ada latihan dari kerjasama dengan IKIP PGRI.

Anggota pemain karawitan cukup beragam, mulai dari pensiunan PNS, sarjana, SPG, PGRI, hingga masyarakat biasa baik yang telah mengerti seni itu secara baik maupun yang sedang belajar dari nol.


Salah satu motto yang dipegang Sobokartti ialah tidak akan ada penjualan atas gedung Sobokartti, apapun masalah yang melatarbelakanginya. Ia adalah sebuah perkumpulan yang independen, keberlangsungannya tidak berdiri atas kepentingan sekelompok golongan, seperti partai politik misalnya. Pada jaman Golkar berjaya, Sobokartti pernah diajak untuk masuk dalam jajarannya. Namun, Sobokartti menolak karena ia hanya mahu menerima bantuan dalam hal apapun atas nama pribadi, bukan kepentingan partai atau untuk hal politik.

Tak dapat disangkal lagi bahwa suatu kesakralan, pada perkembangan jaman mampu menjadi korban dalam komersialisasi industri. Seperti yang dialami Sobokartti dalam dekade terakhir. Kesenian tradisional menjadi sesuatu yang eksklusif dan mahal di mata masyarakat. Masalah sebenarnya ialah minimnya orang yang mengetahui kesenian tradisional itu menyebabkan mahalnya harga yang harus dibayar saat mereka ditanggap untuk mementaskan keahliannya.

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum