Surat untuk Kekasih
Kamis, 04 Desember 2008 by @ ini @
Aku tak pernah paham tentang janji kelingking itu. Sesekali aku menganggapnya sebagai sebuah cita-cita yang kita rajut untuk kita wujudkan bersama suatu hari nanti. Tapi terkadang kegamangan membawaku kembali pada realitas kesadaran, bahwa mungkin janji kelingking itu hanya sebuah proyeksi bayangan dari perasaan kita yang sama-sama kuat. Ya, hanya sebuah proyeksi bayangan.
Aku sadar selama ini kita telah jauh melangkah. Kita melampaui takdir dengan membangun batas pagar untuk diri kita sendiri demi janji kelingking itu. Sayangnya, untuk pondasi saja kita harus sering mengonta-gantinya. Ya, ternyata kita lemah dalam membangun pondasi. Janji kelingking itu mungkin telah kita patri dalam alam bawah sadar kita, sehingga banyak kejanggalan yang kita temukan dalam perjalanan pembuatan batas pagar itu.
Terima kasih untuk mengajariku tentang indahnya arti hidup dan cara mempertahankan hidup itu. Bagiku kau sempurna dalam hidupmu. Kau adalah hidup itu sendiri. Yang diperjuangkan, mengalami kegagalan, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, diperjuangkan lagi, dan terus seperti itu. Ya, kau adalah hidup itu sendiri. Penuh perjuangan dan cinta. Tak pernah mengeluh, padahal nampak jelas garis kelelahan di raut wajahmu.
Sebenarnya, aku masih ingin memeluk lelehan keringat lelahmu. Karena kutahu, aku takkan pernah mendapatimu dalam linangan air mata untuk kuhapus. Namun sekali lagi janji kelingking itu mengabur seperti kabut yang lagi-lagi berurusan dengan cara pandang kita. Dan kini tiba-tiba semua terasa begitu berat bagiku, tak seperti yang telah lalu.
Aku tak mengikhlaskanmu pergi kali ini bukan karena aku takut kau akan merajut janji kelingking dengan yang lain suatu saat nanti. Tapi karena aku tau kau masih menyimpan darah, keringat, luka, dan mungkin air mata dalam hidupmu. Aku masih ingin menemani perjalananmu menapaki tangga kehidupan hingga kau sampai di puncak kebahagiaan, di mana cita-cita yang pernah kau rajut bersama ibumu tak lagi berbentuk mimpi. Setelah itu, mungkin aku bisa mengikhlaskanmu pergi dari janji kelingking kita.
Tapi kali ini keputusanmu sudah bulat. Terakhir, kau pun berkata padaku :
“Aku akan kuat menjalani semuanya dalam kesendirian. Sejak kecil, aku telah belajar banyak dari kerasnya hidup ini. Suatu saat kau akan mengerti bahwa kau perlu keras terhadap dirimu sendiri. Bila tidak, maka orang lain yang akan keras terhadapmu.”
Aku tak dapat menahanmu lagi. Tersenyumlah, legakan aku yang merasa bersalah padamu. Terima kasih untuk cinta dan ajaran hidup yang kau tunjukkan untukku. Tulus sembah doaku iringi almarhum kedua orangtua dan masa depanmu. Aku akan sangat merindukanmu.
Semarang, 27112008_03:00
Aku sadar selama ini kita telah jauh melangkah. Kita melampaui takdir dengan membangun batas pagar untuk diri kita sendiri demi janji kelingking itu. Sayangnya, untuk pondasi saja kita harus sering mengonta-gantinya. Ya, ternyata kita lemah dalam membangun pondasi. Janji kelingking itu mungkin telah kita patri dalam alam bawah sadar kita, sehingga banyak kejanggalan yang kita temukan dalam perjalanan pembuatan batas pagar itu.
Terima kasih untuk mengajariku tentang indahnya arti hidup dan cara mempertahankan hidup itu. Bagiku kau sempurna dalam hidupmu. Kau adalah hidup itu sendiri. Yang diperjuangkan, mengalami kegagalan, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, diperjuangkan lagi, dan terus seperti itu. Ya, kau adalah hidup itu sendiri. Penuh perjuangan dan cinta. Tak pernah mengeluh, padahal nampak jelas garis kelelahan di raut wajahmu.
Sebenarnya, aku masih ingin memeluk lelehan keringat lelahmu. Karena kutahu, aku takkan pernah mendapatimu dalam linangan air mata untuk kuhapus. Namun sekali lagi janji kelingking itu mengabur seperti kabut yang lagi-lagi berurusan dengan cara pandang kita. Dan kini tiba-tiba semua terasa begitu berat bagiku, tak seperti yang telah lalu.
Aku tak mengikhlaskanmu pergi kali ini bukan karena aku takut kau akan merajut janji kelingking dengan yang lain suatu saat nanti. Tapi karena aku tau kau masih menyimpan darah, keringat, luka, dan mungkin air mata dalam hidupmu. Aku masih ingin menemani perjalananmu menapaki tangga kehidupan hingga kau sampai di puncak kebahagiaan, di mana cita-cita yang pernah kau rajut bersama ibumu tak lagi berbentuk mimpi. Setelah itu, mungkin aku bisa mengikhlaskanmu pergi dari janji kelingking kita.
Tapi kali ini keputusanmu sudah bulat. Terakhir, kau pun berkata padaku :
“Aku akan kuat menjalani semuanya dalam kesendirian. Sejak kecil, aku telah belajar banyak dari kerasnya hidup ini. Suatu saat kau akan mengerti bahwa kau perlu keras terhadap dirimu sendiri. Bila tidak, maka orang lain yang akan keras terhadapmu.”
Aku tak dapat menahanmu lagi. Tersenyumlah, legakan aku yang merasa bersalah padamu. Terima kasih untuk cinta dan ajaran hidup yang kau tunjukkan untukku. Tulus sembah doaku iringi almarhum kedua orangtua dan masa depanmu. Aku akan sangat merindukanmu.
Semarang, 27112008_03:00