BUKAN BETA BIJAK BERPERI : TRANSFORMASI PUISI MELAYU DENGAN TRADISI BARU
Kamis, 01 Mei 2008 by @ ini @
Puisi merupakan bentuk pengucapan atau pengungkapan pikiran / perasaan dengan bahasa yang istimewa. Menggunakan bahasa sesedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin. Hal inilah yang kiranya telah dicapai oleh Rustam Effendi dalam puisinya “Bukan Beta Bijak Berperi”. Dengan kata – kata yang padat ia mampu menyampaikan maksud pikirannya, yakni tentang kemerdekaan.
“BUKAN BETA BIJAK BERPERI” :
TRANSFORMASI PUISI MELAYU
DENGAN TRADISI BARU
ANGKATAN PRA-PUJANGGA BARU
Pada tahun 1920-an, kegiatan kesusastraan tidak hanya terbatas pada Balai Pustaka. Di samping itu, telah dikenal pula penerbitan majalah dan buku – buku yang isinya kebanyakan bersifat sastra. Ada dua golongan penerbitan pada masa itu, yakni :
- penerbitan karangan – karangan bertendens politik, yang sering disebut sebagai “bacaan liar”
- penerbitan karangan – karangan yang lebih bersifat sastra.
Kegiatan mengembangkan penerbitan karangan – karangan yang lebih bersifat sastra itu lazim disebut sastra Pra-Pujangga Baru, sebab pengarang – pengarang golongan ini kemudian dikenal juga sebagai pengarang Pujangga Baru. Hasil karangan mereka pada sekitar tahun 1920 dapat dipandang sebagai sastra Pra-Pujangga Baru.
Beberapa pengarang Pra-Pujangga Baru antara lain :
1. Moh. Yamin
2. Rustam Effendi
3. Sultan Takdir Alisjahbana
4. Amir Hamzah
5. Sanusi Pane
6. Armijn Pane
7. Y.E. Tatengkeng
8. Hamidah
9. I Gusti Nyoman Putu Tisna
10. Suman Hs
11. MR. Dayoh
12. Asmara Hadi
13. A. Hasymy
14. Sutomo Jauhari Arifin
Adapun karakteristik sastra Pujangga Baru antara lain :
a. tema yang diangkat umumnya masalah kehidupan kota (modern), bukan lagi masalah adat (kawin paksa)
b. mengandung unsur nasionalitas
c. memiliki kebebasan dalam menentukan bentuk pengucapan sesuai dengan pribadi pengarang
d. bahasa Pujangga Baru adalah Bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat
e. cenderung romantik idealistik
f. adanya unsur pengaruh dari sastra lain terutama angkatan ’80-an dari Negeri Belanda
Berikut ini merupakan pemaparan singkat mengenai pengarang Rustam Effendi angkatan Pra-Pujangga Baru beserta karya puisinya yang berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi” yang merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru:
RUSTAM EFFENDI DAN PUISI “BUKAN BETA BIJAK BERPERI”
Rustam Effendi adalah salah satu dari dua pembuka sejarah baru dalam bentuk puisi, di samping Moh. Yamin.
Dua karangan Rustam Effendi yang telah dibukukan adalah :
- Bebasari
- Percikan Permenungan
Keduanya merupakan “Pasangan yang Sejoli” karena kedua buku itu dikarang dalam saat dan suasana yang bersamaan. Pecikan Permenungan yang dibuat di Padang pada Bulan Maret 1925, tidak lama setelah Bebasari terbit, lahir sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah kolonial yang merintangi peredaran buku Bebasari. Sebab, dalam buku tersebut terkandung makna keperwiraan serta heroisme yang menegaskan secara keras jeritan merdeka.
Bebasari adalah tonil atau drama bersajak dalam tiga pertunjukan (babak) yang isinya bersifat simbolik. Ceritanya mengisahkan mengenai kerajaan Maha Raja Takutar yang telah dirampas Rawana. Bujangga, putra maharaja berusaha melepaskan kekasihnya yang bernama Bebasari, anak bangsawan Sabari, yang dikurung Rawana. Dengan bantuan Sabainaracu. Bujangga berhasil mengusir Rawana dan melepaskan Bebasari dari kurungan. Akhirnya mereka pun kawin.
Simbolik drama itu jelas sekali. Rawana mengingatkan kita pada penjajah yang bersifat angkara murka, Bujangga sebagai lambang angkatan muda, dan Bebasari adalah lambang kebebasan atau kemerdekaan tanah air. Karena jelasnya sifat simbolik itu maka buku Bebasari dirintangi peredarannya oleh pemerintah waktu itu.
Kumpulan puisi Rustam yang terdiri atas 64 buah telah disatukan dalam Percikan Permenungan dan 11 di antaranya berbentuk soneta. Berbeda dengan soneta Yamin, kedua kuartren soneta Rustam Effendi tidak selalu berumus sajak yang sama. Isinya merupakan hasrat akan kemerdekaan yang dijelmakan dalam bentuk romantik, seperti syair dalam puisi “Bunda dan Anak”.
Yang menarik dari puisi – puisi Rustam lainnya (selain soneta) ialah terdapatnya keanekaragaman dalam jumlah kata dan jumlah suku kata tiap barisnya. Beberapa kemungkinan tentang jumlah suku kata tiap barisnya ialah :
1. sama jumlah suku kata tiap baris pada puisi itu, misalnya puisi yang berjudul “Dalam Kamar”
2. berselang – seling antara baris yang satu dengan baris yang lain, misalnya 6, 5, 6, 5, dst.
3. berbeda sama sekali, ada yang terdiri atas dua suku kata, ada yang terdiri atas 17 suku kata, misalnya puisi yang berjudul “Alam”.
Tentang jumlah kata tiap barisnya ada beberapa kemungkinan pula :
1. sama tiap barisnya, misalnya 4, 4, 4, 4, dst.
2. berselang – seling, misalnya 3, 4, 3, 4, dst.
3. berbeda sama sekali, misalnya 1, 4, 5, 5, 6, 7, dst.
Dengan irama (ritma) yang beraneka ragam dan dinamis itu, Rustam ingin membuktikan pula mengenai penggunaan irama yang berdasarkan kata atau suku kata, bukan berdasarkan tekanan kata semata – mata. Ia hendak menuju pada puisi kata atau puisi suku kata (puisi yang memandang kata atau suku kata sebagai kesatuan keindahan).
Puisi – puisi Rustam Effendi jelas lebih mengenal variasi dalam berbagai hal dibanding dengan karya Yamin, sehingga terasa lebih hidup dan dinamis. Akan tetapi, pembaharuan yang ia bawa tidak selamanya tertuang dalam bentuk yang baru pula sehingga sering terjadi kontradiksi antara isi dan bentuk. Hal ini jelas terlihat pada puisinya yang berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi” berikut ini :
Bukan Beta Bijak Berperi
Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
Degap – degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
Bentuk puisi di atas berupa puisi yang berselang – seling, baik jumlah kata maupun suku katanya. Akan tetapi, jumlah suku kata beserta irama dan pola persajakannya masih mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua bentuk yang justru hendak dibuang dan dihindari oleh penyair.
Rustam Effendi sebagai penyair Pujangga Baru, telah mengenal konvensi syair dan pantun. Namun, dalam “Bukan Beta Bikaj Berperi” ia berniat membuat puisi baru setelah mengenal puisi Eropa. Sehingga tidak heran bila ia menentang aturan dan konvensi pantun dan syair, baik mengenai konvensi bentuk formal maupun konvensi isi pikiran yang dikandungnya.
Penyimpangan konvensi itu nampak pada puisi di atas. Menurut bentuknya, sajak “Bukan Beta Bijak Berperi” itu adalah syair, sebab kelima bait berisi pernyataan yang bersambungan. Namun, sajak dalam puisi itu berpola a b a b, bukan a a a a. Sehingga, pola sajak yang tercipta akhirnya adalah pola sajak pantun. Isi sajak itu berupa pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran si aku. Hal seperti ini tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola – pola bentuk yang teratur, periodisitas sajak Rustam Effendi itu sesungguhnya masih merupakan konvensi sajak Melayu atau tradisi dajak Melayu : tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata. Buktinya :
- pantun : Pulau Pandan / jauh di tengah
- syair : Lalulah berjalan / Ken Tambunan
- Rustam Effendi : Bukan beta / bijak berperi.
Jadi, sajak Rustam Effendi merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru.
Meskipun menyimpang dari konvensi pantun dan syair, namun keteraturan konvensi pembaitan yang teratur dan kesimetrisan pembagian baris yang tetap, serta penggunaan sajak akhir masih tetap diteruskan.
Dalam “Bukan Beta Bijak Berperi” Rustam berusaha menciptakan kebaruan dengan tidak meninggalkan sama sekali konvensi sajak yang sudah ada.dalam puisi itu ia meneruskan ciri – ciri yang merupakan konvensi sajak – sajak sebelumnya sekaligus menentang konsep – konsep estetik sajak – sajak sebelumnya. Dalam hal ini terjadi ketegangan antara pembaharuan dan konvensi serta antara yang lama dengan yang baru. Di satu pihak ia meneruskan konvensi yang sudah ada dan di pihak lain ia menyimpangi konvensinya.
Dalam sajak itu korespondensi berupa pembaitan, tiap bait terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari dua satuan sintaksis (kelompok kata atau gatra) dari bait pertama sampai bait terakhir. Korespondensi dari awal bait, baris pertama sampai ke akhir bait,baris terakhir : susunannya serupa.
Periodotas sajak tersebut juga dari awal baris bait pertama sampai ke akhir baris bait terakhir, yaitu tiap baris terdiri dari dua periodus, dan tiap periodus terdiri dari dua kata. Jadi, dalam asjak ini yang berkorespondensi adalah perioditasnya dan juga jumlah baris pada tiap baitnya berulang : 4-4 (Pradopo, 2005 :8, 9).
Dapat kita simpulkan pula bahwa selain adanya kecenderungan penggunaan irama atau ritma yang berdasarkan kata atau suku kata tersebut, ada ciri lain pada puisi – puisi Rustam Effendi, yaitu :
- unsur persajakan atau rima sebagian besar berupa aliterasi dan asonansi
- banyak perbendaharaan kata yang diambil dari bahasa Minang
- dalam menyingkat kata tampak seenaknya saja, seperti : didengungkan ___ dengungan ; kemudahan ___ madahan; menjadi nekat ___ menekat; mengalun ___ alun, dsb. dengan tujuan hendak memenuhi jumlah suku kata tertentu atau berhubungan dengan pola persajakan atau rima.
MAKNA BAIT KE-1
Ia merasa bahwa ia bukanlah orang hebat yang mampu mengubah konvensi syair yang telah ada. Iapun bukan budak di negeri sendiri yang selalu harus menurut dan tunduk pada segala peraturan orang asing, yang secara langsung maupun tidak telah menjajah negerinya.
MAKNA BAIT KE-2
Ia hanya merubah sedikit rangkaian seloka lama dengan sentuhan baru tanpa meninggalkan konvensi yang sudah ada. Ia mencoba memberontak konvensi puisi lama itu dengan menyingkirkan beberapa ketentuan – ketentuan dan menyusun karya baru sesuai kata hati serta keinginannya.
MAKNA BAIT KE-3
Terkadang ia merasa kesulitan untuk menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Ia hanya bisa menunggu waktu yang tepat.
MAKNA BAIT KE-4
Kadang ia merasa susah atau sedih karena kemudahan tidak juga datang. Kadang ia juga kesulitan untuk memberontak karena terikatnya ia dengan peraturan yang tidak jelas faedahnya.
MAKNA BAIT KE-5
Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai melagukan pantun. Iapun mengakui bahwa ia sebenarnya tidak membuat sesuatu yang baru, melainkan hanya mendengarkan bisikan dari dirinya sendiri dan orang – orang sekitarnya yang ingin membebaskan diri dari keterbelengguan segala hal (penjajah, konvensi dalam membuat puisi, dsb.).
Selain dikenal sebagai sastrawan, Rustam Effendi juga terkenal sebagai seorang yang bergerak di bidang politik kenegaraan. Ia pernah menjadi anggota Tweede Kamer di negeri Belanda untuk mewakili Partai Komunis di sana, yaitu antara tahun 1933 – 1946. Jadi, tidak heran kalau karya – karyanya berbau politik yang kebanyakan menyindir tentang kebebasan.
Karangannya yang lain belum ada yang dibukukan, walaupun sesudah kebangkitan Angkatan 66 ia masih sering menulis pada beberapa majalah.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sarwadi, H. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media.
Surana, F.X. 1989. Materi Pelajaran Bahasa Indonesia (Matbi) 2A. Solo : Tiga Serangkai.
dh,
Saya sempat menterjemahkan : Bukan Beta Bijak Berperi Ke dalam Bhs Inggris.
Bila tertarik ; kunjungi: indonesiapoetry.blogspot.com
wass
tono
makasi atas pemjelasannya..
saya jadi lebih mengerti makna dalam puisi beliau